Jumat, 17 Oktober 2008

Bagaimana China memandang keberadaan AS di wilayah Asia Timur: sebagai ancaman atau peluang?

I. Pendahuluan

Melalui berbagai macam peperangan dan pertempuran, pada akhirnya AS dinyatakan sebagai pemenang dari Perang Dunia II. Akan tetapi, akhir dari perang tersebut pada kenyataannya bukan berarti menandakan bahwa tugas AS telah selesai. Sebaliknya, AS mempunyai tugas lain yang berat, yaitu menangkal derap langkah Uni Soviet. AS sebagai negara pengusung Demokrasi-Liberal harus menegaskan konsistensinya dengan membendung pengaruh Uni Soviet yang Komunis di berbagai belahan dunia ini. Selain alasan rasional[1] dan realistis[2], alasan kuat lainnya adalah perbedaan ideologis diantara Kapitalis dan Komunis. Seperti yang kita tahu, Komunisme adalah antitesis dari Kapitalisme. Perang Dingin (Cold War) adalah istilah yang disepakati oleh penduduk dunia untuk menamakan masa-masa tersebut.

Diantara kedua kubu besar (bipolar) tersebut, dunia internasional diombang-ambing oleh tarik-menarik pengaruh ideologi Komunis dan Kapitalis. Memang kedua negara tersebut di masa perang dingin tidak pernah berperang secara langsung (armed conflict), tapi efek dari perebutan pengaruh tersebut banyak berpengaruh terhadap politik domestik pada suatu negara tertentu. Contohnya adalah terbaginya Jerman Barat dan Timur (1945-90), perang Vietnam (1959-75), perang saudara di China (1945-49), Perang Korea (1950-53), Pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Indonesia (1965), dan masih banyak lainnya.

Pada awal dekade 1990-an, setelah sekian lama bertarung dengan kubu barat (Kapitalis), Uni Soviet gagal mempertahankan rezim Komunis dan harus rela melihat keruntuhannya. Guru besar ilmu politik Francis Fukuyama melihat fenomena tersebut sebagai akhir dari sejarah manusia, yakni orang yang terakhir berdiri (the last man standing) dari pertarungan panjang adalah demokrasi-liberal, atau kubu kapitalis. Semenjak masa itu, AS sebagai pemenang semakin menancapkan pengaruhnya di dunia Internasional. Periode 1990 sampai dengan hari ini adalah masa keemasan bagi demokrasi-liberal, di mana manifestasi dari demokrasi-liberal tidak bisa dihindari oleh negara mana pun, yakni globalisasi.[3]

Namun, di dalam masa globalisasi ini, di mana sistem politik internasional didominasi oleh demokrasi-liberal, beberapa negara komunis masih bertahan, seperti China, Kuba, Vietnam, dan Korea Utara. Di antara negara-negara komunis tersebut, yang paling spektakuler adalah China. Hari ini dia muncul sebagai salah satu raksasa ekonomi dunia dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Di tahun 1992 dia mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi sampai 14,1 persen.[4] Barang-barang industri buatan China menyebar ke seluruh dunia mulai dari industri berteknologi sederhana seperti jarum jahit sampai dengan teknologi tingkat tinggi seperti komputer.

Yang lebih mengejutkan adalah bergabungnya China dengan organisasi-organisasi internasional yang isinya didominasi oleh negara-negara penganut demokrasi-liberal. Pada tahun 2001 China bergabung dengan WTO (World Trade Organization) dan juga menjadi klien terbesar Bank Dunia dengan pinjaman sebesar $ 1,4 miliar pada tahun 2000, kedua organisasi tersebut merupakan simbol kekuasaan kaum liberal.[5] Pada wilayah keamanan, China bergabung dengan International Atomic Energy Agency (IAEA) dan organisasi informal ARF (Asian Regional Forum). Selain itu, di tengah gencarnya ekspor demokrasi dan HAM oleh AS ke seluruh dunia, China meratifikasi Convention to Eliminate All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dan the Convention on the Rights of the Child (CRC). Kedua konvensi tersebut belum diratifikasi oleh pemerintah AS.[6]

Singkat kata, di era globalisasi ini, di mana negara komunis lainnya mengalami kemunduran, China mencapai kemajuan yang luar biasa di bidang ekonomi, keamanan, dan diplomasi. China telah menjadi salah satu negara super power yang arah pergerakkannya sulit untuk ditebak, karena pada dasarnya China adalah negara Komunis, yang oleh kaum Demokrat-Liberal dianggap sebagai pembawa bencana.

Dalam konteks regional Asia Pasifik, lebih khususnya lagi adalah Asia Timur, bagi beberapa negara di sekitarnya, tanpa kehadiran AS di wilayah tersebut, keberadaan China menjadi ancaman keamanan, khususnya bagi Jepang dan Taiwan. Jepang dan Taiwan merupakan negara yang memiliki sejarah konflik dengan China, oleh karena itu, ketika China memiliki hak untuk memproduksi senjata nuklir dan senjata-senjata militer lainnya, dan didukung oleh ekonomi yang kuat, Jepang dan Taiwan merasa terancam. Untuk mengatasinya, Jepang mau pun Taiwan mengundang AS untuk menjadi “satpam” di wilayah Asia Timur.

Bagi China, keberadaan AS di wilayah Asia Timur tidak bisa dianggap sepele, sebab China memandang AS sebagai negara yang kapasitas dan kapabelitasnya di bidang ekonomi dan militer sangat kuat. Statement ini didukung oleh fakta bahwa China tidak berani melakukan tindakan militer terhadap keberadaan Taiwan karena takut terhadap ancaman AS. Sebagaimana tertuang dalam Taiwan Relation Act yang dibuat tahun 1979, sebuah dasar hukum yang menjadi landasan AS untuk mengintervensi hubungan China-Taiwan apabila China menggunakan cara kekerasan dalam proses reunifikasi.[7] Alasan AS untuk turut campur dalam masalah perdamaian di Asia Timur adalah karena secara ekonomi AS berkepentingan di wilyah Asia Pasifik. Bagaimana tidak, Asia Pasifik adalah suatu kawasan di mana 60 persen produk industri dan pertanian dunia dihasilkan. Asia Pasifik adalah jantung ekonomi dunia.[8] Ketika stabilitas keamanan di Asia Pasifik terganggu, maka ekonomi dunia pun akan terganggu, termasuk ekonomi AS.

Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, maka research question dari makalah ini adalah:

Bagaimana China memandang keberadaan AS di wilayah Asia Timur: sebagai ancaman atau peluang bagi kepentingan nasional China?

II. KERANGKA PEMIKIRAN

Negara adalah satuan dominant actor sehingga National Security menjadi isu utama. Menurut Barry Buzan Keamaanan kolektivitas negara dipengaruhi lima sektor penting yaitu: militer, politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Perkembangan/kemajuan militer Cina dimaksudkan untuk memperkuat keamanan nasionalnya. Sedangkan pengertian keamanan nasional menurut Lawrence Ziring dalam bukunya International Relation: A Political Dictionary yang diterjemahkan oleh T. May Rudy dalam bukunya Studi Strategis; Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin sebagai berikut:

“Keamanan nasional adalah pengalokasian sumber-sumber untuk produksi, implementasi, dan pelaksanaan atas apa yang disebut sebagai fasilitas koersif yang digunakan suatu negara dalam mencapai kepentingan-kepentingannya”.[9]

Menurut Barry Buzan, dalam bukunya People, State And Fear, An Agenda For International Security Studies In Post Cold War Era, perhatian keamanan militer secara umum adalah dua level interplay antara kemampuan ofensif dan defensif militer suatu negara terhadap kemapuan militer negara lain. Dengan demikian konsep tersebut menuntut implementasi lebih lanjut pada wilayah strategi dan taktik. Taktik lebih dikhususkan pada tindakan aktual pada medan perang. Sedangkan strategi merupakan tindakan mencari dan mengidentifikasikan bagaimana cara terbaik untuk mencapai tujuan. Semua kebijakan mengenai strategi milter atau perang pada akhirnya melahirkan dilemma kemanan. Walter S. Jones menjelaskan bahwa:

“Kesiagaan defensif salah satu pihak dianggap bukti motif ofensif oleh pihak lainya. Yang selanjutnya mempersenjatai diri sebagai tanggapanya. Semua pihak berusaha saling mengungguli sehingga menumbuhkan dilemma persenjataan dan pasukan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Perlombaan tersebut, menciptakan dilemma keamanan.”[10]

Ancaman juga memiliki dimensi horizontal yang menambah kompleksitas persepsi atau ancaman. Dimensi sejarah mengakibatkan bagaimana ancaman dipersepsikan. Ancaman yang berhubungan dengan pengalaman sejarah akan memperkuat kepekaan suatu negara.

James E. Dougherty dan Robert I. Plattzgraff menerangkan tentang konsep Spill over, yaitu jika suatu negara melakukan aksi tertentu yang kemudian mempengaruhi negara-negara lain disekitarnya, maka keadaan demikian dapat diterangkan dengan konsep spill over atau pelimpahan, yaitu adanya isu lain yang muncul pada saat suatu negara melakukan suatu aksi tertentu.[11] Dalam kasus ini terjadi pelimpahan dalam aksi China dalam melakukan modernisasi ekonomi dan militer yaitu membawa pengaruh bagi keamanan di kawasan Asia Timur.

Barry Buzan berpendapat bahwa perlombaan senjata mencerminkan makna adanya “self stimulating military rivalry between states, in wich their efforts to defend themselves militarily cause them to enhance the threats they pose to each other.Bagi AS program peningkatan kapabilitas militer China dapat menimbulkan ancaman bagi stabilitas keamanan di wilyah Asia Timur.[12]

Kusnanto Anggoro menjelaskan tentang threath perception sebagai model aksi-reaksi. Model aksi-reaksi ini beranggapan bahwa negara-negara memperkuat sistem persenjataan mereka karena apa yang mereka anggap sebagai adanya persepsi (threat perception) ancaman dari luar. Dengan demikian model ini mengandalkan penalarannya pada anarki internasional dan ancaman dari luar. Dengan demikian, pola pendekatan tradisional ini akan berefek pada pembangunan militer.

Pembangunan militer merupakan pengembangan strategi pertahanan nasional atas dasar “pertahanan aktif” yang lebih komprehensif. Dengan kata lain, China menyadari pentingnya pertahan yang meliputi darat, laut dan udara untuk menjaga keamanan nasional. Dimana pembangunan ini ditunjukan untuk memperkuat sistem pertahanan dan keamanan dalam negeri China semata, dan bukan menjadi ancaman bagi negara lain. Senada dengan yang dikatakan oleh Perdana Mentri (PM) China Wen Jianbao mengatakan bahwa kenaikan anggaran militer china hanya ditujukan untuk keamanan pertahan Negara China serta modernisasi dalam perlengkapan militer yang sudah usang dan kuno.

Di satu sisi pergerakkan China dalam membangun militer yang tangguh tampak seperti sikap seorang realis yang tidak ingin bergantung terhadap negara lain dalam masalah keamanan (self help). Tetapi setelah berakhirnya perang dingin tampaknya China tidak sepenuhnya realis, sebab dia masih mengikuti pola-pola interaksi pada sistem politik internasional. Bukti konkritnya adalah keterlibatan China pada organisasi-organisasi internasional bentukan kaum liberal. Pasca perang dingin China mengikuti sistem internasional, hal ini berarti membuktikan bahwa China adalah negara yang menganut paham neo-realis. Sebagaimana yang disebutkan dalam teori neorealisme, inti pandangan neo-realisme adalah: pertama, melihat perilaku politik negara sebagai perilaku yang dikonstruksi oleh struktur sistem politik internasional (determinisme sistem internasional), bukan refleksi perilaku manusia seperti yang diyakini oleh kaum realis klasik dan neoklasik. Negara hanya menjadi tawanan struktur sistem politik internasional. Dengan demikian, segala perilaku negara tidak ada yang lepas dari struktur sistem.[13]

Kedua, bentuk dasar politik internasional adalah struktur anarki, yaitu tidak ada kedaulatan yang lebih tinggi di luar negara, yang tersebar diantara negara-negara. Pada struktur yang anarki tersebut, negara-negara dibedakan atas dasar kapabilitasnya dalam menjalankan fungsi negara, bukan pada jenis fungsi yang dijalankan negara. Perubahan pada distribusi kapabilitas negara-negara berdampak pada perubahan pada wajah politik internasional.[14]

Ketiga, perimbangan diantara kekuatan dunia adalah mungkin terjadi, tetapi perang juga menjadi kemungkinan yang terjadi pula. Perdamaian akan terjadi apabila dunia terpilah secara bipolar, sebab (1) jumlah konflik negara-negara berkekuatan besar lebih sedikit, dan hal itu mengurangi kemungkinan perang negara-negara berkekuatan besar; (2) lebih mudah menjalankan sistem penangkalan yang efektif sebab lebih sedikit negara-negara berkekuatan besar yang terlibat; (3) diantara kekuatan bipolar kemungkinan salah perhitungan dan salah tindakan lebih rendah. Sementara itu, multipolar kekuatan dunia rentan bagi terjadinya perang karena pergerakan aliansi kekuatan dapat terjadi secara lebih liar.[15]

III. Pembahasan

Di era perang dingin, ideologi politik China terbagi ke dalam dua kubu, yakni Komunis dan Nasionalis (Kapitalis). Kaum komunis China bersatu dalam Partai Komunis China (PKC) yang dipimpin oleh MaoZe Dong. Sedangkan kaum Nasionalis tergabung dalam Partai Guo Mindang (GMD) yang dipimpin oleh Chiang Kai Sek. Dari sejak tahun 1946 sampai dengan tahun 1949, kedua partai tersebut berperang satu sama lain untuk memperjuangkan ideologi politiknya.

Karena pada waktu itu dunia masih dirundung perang dingin, maka konflik domestik tersebut meluas pada wilyah Internasional. Di tengah perebutan pengaruh antara AS dan Uni Soviet, AS berpihak kepada GMD yang berideologi kapitalis. Sebelum perang pecah, AS ingin melihat China dipimpin oleh GMD dan berusaha bertindak sebagai penengah dalam perundingan kesepakatan politik yang dilakukan oleh PKC dan GMD. AS mengirimkan jendral George Catlett Marshall[16] sebagai juru runding. Melalui Marshall, AS mengirimkan bantuan-bantuan militer kepada GMD. Namun, bagaimanapun juga, perundingan tersebut gagal sehingga berakibat pecahnya perang saudara (civil war) di antara para pendukung PKC dan GMD.[17]

Perang saudara tersebut diakhiri dengan kekalahan GMD. Chiang Kai Sek dengan pasukannya yang tersisa kabur ke pulau Taiwan (Formosa), menundukan rakyat pulau tersebut yang mencoba menentang, dan mendirikan suatu kekuatan baru yang lebih kecil dibawah perisai Armada ke-7 Amerika Serikat, yang sejak tahun 1950 telah melindungi GMD terhadap serangan-serangan dari China Daratan.[18]

Pada 1 Oktober 1949, pemerintahan Rakyat dari PKC mengklaim bahwa dirinya adalah Pemerintah Republik China yang sah dari seluruh wilayah China. Di arena internasional PKC mengklaim bahwa pemerintahannya sebagai representasi China satu-satunya yang legal. Status sejarah Republik China tersebut masih berlaku sampai sekarang.

Pada masa-masa itu kepemimpinan komunis China menekankan sikap defensif sebagai prioritas utama China dalam hubungan internasionalnya. Sikap tersebut dapat disimak dalam hierarki prioritas perumusan politik luar negeri China sejak tahun 1949 sebagai berikut:

1. Pertahanan melawan serangan militer atau dominasi luar negeri.

2. Penyatuan kembali daerah-daerah terpencil dan terasing (terutama Tibet, Sinkiang, dan Monggolia Dalam).

3. Penggabungan Taiwan dalam struktur administratif nasional.

4. Pencegahan campur tangan non-militer asing dalam urusan-urusan dalam negeri China.

5. Pembangunan kembali respek/sikap hormat internasional, dan mencapai peranan memimpin dalam urusan-urusan regional dan internasional.[19]

Bertolak dari fakta historis tersebut, maka AS pun memandang China sebagai lawan dari ideologi kapitalis. Sebab, dari sejak tahun 1949 China secara resmi menganut ideologi komunis. Di masa kepemimpinan Mao, dalam melaksanakan politik luar dan dalam negerinya, China bertindak tanpa kompromi terhadap tekanan dari pihak barat, sebagaimana tertuang dalam kebijakan politik luar negerinya. Apalagi sejak tahun 1960-an, ketika China mulai memproduksi senjata nuklir, AS semakin berhati-hati terhadap China. Di dalam negeri China melakukan Revolusi Kebudayaan yang fenomenal, yaitu di mana seluruh bentuk kebudayaan China dan literatur-literatur barat dibumihanguskan. Oleh karena itulah, di kalangan barat China mendapat julukan “Rogue Country”.[20]

Perlombaan senjata China-AS

Kepentingan AS di kawasan Asia Timur cukup jelas, sebagaimana telah disebutkan di atas, AS menginginkan terciptanya kestabilan di Asia Pasifik demi kepentingan nasionalnya (kepentingan ekonomi, keamanan, ideologi politik, dsb). Oleh karena itu AS harus mempertahankan hegemoninya dengan menempatkan armada-armada perangnya di wilayah Asia Timur. Jepang yang menjadi sekutu AS semenjak kekalahannya di Perang Dunia II adalah salah satu negara yang dijadikan pangkalan militer oleh AS. Yang menjadi salah satu alasan AS menempatkan pangkalan militer di Jepang adalah karena keberadaan Korea Utara yang memiliki nuklir. China sendiri menganggap alasan Korea Utara (Korut) tersebut hanyalah alasan untuk membendung kekuatan militer China di Asia Timur, terutama menyangkut keberadaan Taiwan.[21]

Diantara seluruh pengembangan militer China, salah satu bagian terpentingnya adalah konsentrasi terhadap National Missile Defense (NMD) dan Theatre Missile Defense (TMD). NMD adalah senjata penangkal misil jarak jauh (intercontinental ballistic missiles/ICBMs). TMD adalah senjata penangkal misil jarak dekat (shorter-range missiles). Alasan China fokus terhadap NMD dan TMD terbagi ke dalam tiga kategori. Pertama, walupun banyak pengamat meragukan bahwa China akan menginvasi Taiwan secara militer, tetapi posisi Taiwan yang secara geografis dekat dengan China rentan terhadap serangan misil jarak pendek milik China. Ketika Taiwan memiliki fasilitas TMD, China khawatir pengaruh politiknya untuk mengintimidasi pemimpin Taiwan akan berkurang. Selain itu, menurut pandangan China, keberadaan TMD di Taiwan akan meningkatkan sentimen warga Taiwan untuk memerdekakan diri. Perlu diketahui, yang bertanggung jawab terhadap penyebaran TMD di Taiwan adalah AS. AS adalah mitra dagang Taiwan dalam ekspor persenjataan.[22] Taiwan Relations Act (TRA) 1979 mengizinkan AS untuk menjual senjata untuk kepentingan pertahanan. Dalam beberapa dekade terakhir AS sudah menjual senjata ke Taiwan, diantaranya 126 F-16s TMD Patriot antimissile systems, delapan Knox-class frigates, tujuh Perry-class frigates, M-60A3 tanks, beserta perlengkapan elektroniknya.[23]

Kedua, dalam konteks Asia Timur, AS bekerjasama dengan Jepang dalam pengembangan TMD dalam rangka sebagai antisipasi dari misil jarak dekat Korut terhadap Jepang. Dalam persepsi China, misil Korut tidak mematikan. Oleh karena itu, kerjasama militer AS dan Jepang dalam pengembangan TMD terhadap Korut hanyalah akal bulus saja, alasan sebenarnya adalah untuk menangkal pengaruh China di Asia Timur. [24]

Ketiga, modernisasi militer jangka panjang, saat ini kemampuan misil jarak jauh dan nuklir China masih relatif lemah dibandingkan milik AS. Oleh karena itu China terus mengembangkan ICBMs dan nuklir demi tujuan jangka panjang. Harapan China, ketika kemampuan ICBMs dan Nuklir China sudah setara dengan AS, maka posisi tawar politik China di mata AS akan semakin menguat.[25]

Pada tahun 1972, AS dan Uni Soviet terikat perjanjian mengenai Anti-Ballistic Missile (ABM). Perjanjian tersebut membatasi kemampuan kedua negara untuk memproduksi ABM. Efek dari perjanjian tersebut membuat AS tidak bisa berkutik terhadap pengembangan NMD dan TMD. Perjanjian tersebut baru berakhir di tahun 2001 ketika pemerintahan Bush Junior secara sepihak mencabut perjanjian tersebut.[26] Namun, setidaknya dalam rentang waktu 1972-2001, perjanjian tersebut menjadi peluang besar bagi China untuk meningkatkan kapabilitas misilnya untuk dapat mengimbangi kemampuan NMD dan TMD milik AS yang disebar di wilayah Asia Timur (Jepang dan Taiwan). Sementara itu, AS menyadari bahwa dengan struktur seperti ini, China dapat menjadi ancaman yang membahayakan. Oleh karena itu AS pun memulai pendekatan baru terhadap China.

Rekonsiliasi Hubungan China-AS

Dalam kurun waktu 1971-89, AS dan China membuka kembali hubungan relasi yang lebih lembut. Pada waktu-waktu tersebut AS dan China menyepakati empat hal dalam masalah keamanan, yaitu (1) Taiwan, dukungan terhadap reunifikasi, (2) AS mengajukan proposal untuk penyebaran Theater Missile Defense (TMD) sistem di Asia, (3) Membuka rahasia teknologi militer dan nuklir kepada China, (4) membuka keran ekspor persenjataan China. Selain itu, AS pun mengurangi pasokan ekspor persenjataannya ke Taiwan.[27]

Pendekatan tersebut diawali pada tahun 1972 dalam Shanghai Communiqué. Melalui legitimasi PBB Washington menerima tawaran Beijing untuk mengakui Taiwan sebagai bagian dari China dan bersedia menarik pasukan dan pangkalan militernya dari wilayah Taiwan. Di tahun 1979 Deng melakukan suatu kunjungan yang mengundang kontroversi, yaitu dengan mengunjungi AS dan bertemu Presiden Carter. Buah dari kunjungan tersebut adalah terjalinnya kerjasama dan hubungan diplomatik AS dan China.[28] Selain itu hubungan diplomatik dan kerjasama dengan Jepang pun diperkuat secara signifikan. Terbukti dengan munculnya kesepakatan-kesepakan mengenai peningkatan investasi negara Jepang di China dibawah lembaga Sino-Japanese relation.[29] Di tahun 1989, di bawah kepemimpinan Reagan, AS membuat kebijakkan untuk mengurangi penjualan senjata ke Taiwan.

Pendekatan tersebut juga dipengaruhi oleh hubungan China dan Uni Soviet yang memburuk. Pada waktu itu China tidak menyepakati doktrin Khurschev mengenai revisionisme komunis. Segera saja China melepaskan aliansinya dengan Uni Soviet dan berbalik bergabung dengan aliansi anti Uni Soviet yang digagas oleh AS. [30] Hanya saja sangat disayangkan, “kemesraan” AS dan China harus diakhiri pada tahun 1989 di mana terjadi pembantaian massal terhadap mahasiswa-mahasiswa China pro-demokrasi yang berunjuk rasa di lapangan Tiananmen.

IV. Kesimpulan

Tahun 1989 adalah masa-masa yang sulit bagi China. Ketika hubungan AS-China memburuk, perang dingin pun hampir berakhir. Bagaimana pun juga, walaupun Uni Soviet bersebrangan dengan China, China tetaplah negara komunis. Ketika Uni Soviet yang menjadi poros Komunis dunia runtuh, otomatis jaringan di antara negara-negara komunis runtuh juga. Dalam hal ini China harus memodifikasi kebijakan politik luar negerinya, sebab struktur sistem internasional telah berubah. Dekade 90-an adalah masa keemasan bagi kaum liberal. Struktur sistem internasional dibuat dan didominasi oleh kaum liberal.

Namun yang menarik di sini adalah, sejak Deng Xiao Ping memimpin China di tahun 1978, anggaran militer China terus menurun. Sampai dengan meninggalnya Deng di tahun 1997, konsentrasi China bukan lagi pada wilayah militer, tetapi ekonomi. Di masa kepemimpinan Deng, China telah menjadi negara yang tingkat pertumbuhan ekonominya paling tinggi di dunia. Tampaknya, jauh hari sebelum perang dingin berakhir dan Uni Soviet runtuh, Deng telah menyadari bahwa pendekatan keamanan tradisional yang bersifat militer akan berakhir.

Seolah-olah Deng sudah tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang, yakni lahirnya globalisasi. Jauh hari sebelumnya Deng telah mempersiapkan China untuk dapat menjadi negara yang tangguh dalam pertarungan di arena globalisasi. Deng mengubah kebijakan ekonomi China dengan keterbukaan, yakni sosialisme pasar. “Tidak masalah, apakah kucing hitam atau putih, yang penting tikusnya tertangkap,” ujarnya.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, jelas China melihat keberadaan AS di wilayah Asia Timur sebagai ancaman. Ulah AS di Asia Timur seringkali membuat China tidak dapat mencapai tujuan nasionalnya. Namun China pun tidak dapat bersikap keras, sebab China tahu betul bahwa kemampuan militernya jauh di bawah AS. Sebaliknya, AS pun mengkhawatirkan kemampuan nuklir China. AS tahu bahwa kemampuan militernya di atas China, tapi mungkin AS berpikir, apabila China ditekan terlalu jauh, bisa saja dia menjadi nekad. Maklum, pada waktu itu China masih di bawah kepemimpinan Mao, beliau dikenal sebagai pemimpin yang berwatak keras. Keadaan ini membuat kedua negara lebih memilih mempertahankan Status Quo, dalam kasus Taiwan, kedua negara terlibat perlombaan senjata secara tidak langsung.

Pada periode 1970-an, tampaknya China sudah tahu bahwa AS akan menjadi pemenang perang dingin. Di sini China bersikap oportunis, daripada memusuhi AS, lebih baik membuat AS menjadi negara sahabat. Walaupun di tahun 1989 hubungan tersebut sempat rusak, tapi di tahun-tahun mendatang China memperbaikinya dengan cara bersikap bersahabat dengan negara-negara tetangga. Dengan bergabung dengan organisasi-organisasi internasional, China mencoba menunjukkan pada dunia bahwa China adalah negara yang akomodatif. Bahkan pada tahun 2001 China bergabung dengan WTO (World Trade Organization) dan juga menjadi klien terbesar Bank Dunia dengan pinjaman sebesar $ 1,4 miliar pada tahun 2000, kedua organisasi tersebut merupakan simbol kekuasaan kaum liberal. Pada wilayah keamanan, China bergabung dengan International Atomic Energy Agency (IAEA) dan organisasi informal ARF (Asian Regional Forum). Selain itu, di tengah gencarnya ekspor demokrasi dan HAM oleh AS ke seluruh dunia, China meratifikasi Convention to Eliminate All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dan the Convention on the Rights of the Child (CRC). Kedua konvensi tersebut belum diratifikasi oleh pemerintah AS.

Bahkan James H Nolt, pengamat dari World Policy Institue, menyarankan AS agar tidak menganggap China sebagai ancaman lagi, sebab kemampuan militer China sejak dekade 1970-an cenderung tidak berkembang. Juga, ekspor persenjataan China sudah dikurangi. Adapun masalah keterlibatan China dengan nuklir Pakistan, hal tersebut tidak perlu terlalu dikhawatirkan, sebab China telah meratifikasi Nuclear Non-Proliferation Treaty pada tahun 1992 dan setuju untuk membatasi ekspor teknologi fasilitas nuklir yang membahayakan di tahun 1996.

Pada tahun 1996 China telah dapat menyempurnakan kemampuan ICBMs-nya sehingga jarak tempuhnya dapat mencapai Los Angeles, dan dengan akurat pula. Memang China dapat saja menghancurkan Los Angeles, tapi itu sama saja dengan bunuh diri. Ketika Los Angeles hancur, AS segera membalasnya dan seluruh China daratan hancur. China tidak akan melakukan tindakan bodoh membunuh diri sendiri. Saat ini yang perlu dikhawatirkan dari China bukan bahaya komunis, tetapi bahaya kapitalis China.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man Standing, (Qalam, Yogyakarta, 2001)

Bob Widyahartono, Bangkitnya Naga Besar Asia (Yogyakarta: ANDI, 2004)

I Wibowo, “Belajar dari China”, (Jakarta: Kompas, 2004)

Lawrence Ziring, International Relation: A Political Dictionary, yang diterjemahkan oleh T May Rudy dalam buku, Studi Strategis; Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin, Refika Aditama, Bandung, 2001.

Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional, 1993: PT. Gramedia: Jakarta.

James E. Dougherty and Robert I. Plattzgraff, Contending Theories of International Relations, 1981.

Walter S. Jones., Logika Hubungan Internasional:Presepsi Nasional (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1992)

Thomas J Christensen, “China, The US-Japan Alliance, and The Security Dilemma in East Asia”, G John Ikenberry, Michael Mastanduno (ed.) (New York: Columbia University Press, 2003).

Internet:

Margaret Huang, U.S. Human Rights Policy Toward China, Foreign Policy in Focus, Vol.6 No.8 March 2001 (on-line), dalam http://www.fpif.org/briefs/vol6/v6n08chinahr.html, diakses 26 Maret 2008.

Joseph Gerson, Asia/Pacific Peace and Security Issues, Foreign Policy in Focus, Volume 2, Number 10 January 1997, (on-line), dalam http://www.fpif.org/briefs/vol2/v2n10asi.html, diakses 26 Maret 2008.

Sigit Pamungkas, “Pokok-pokok Realisme dalam Politik Internasional”, dalam http://kahmibulaksumur.net/index.php/2007/11/02/pokok-pokok-realisme-dalam-politik-internasional, diakses 17 Maret 2008.

Thomas Bickford, “Myths and Realities of China’s Military Power”, Foreign Policy in Focus, Volume 6, Number 14 April 2001 (on-line), dalam http://www.fpif.org/briefs/vol6/v6n14chinamil.html, diakses 26 Maret 2008.

Wade L. Huntley and Robert Brown, “Missile Defense & China”, Foreign Policy in Focus (on-line) Volume 6, Number 3, January 2001, dalam http://www.fpif.org/briefs/vol6/v6n03taiwan.html, diakses tanggal 26 Maret 2008.

Thomas Bickford,Myths and Realities of China’s Military Power”, Foreign Policy in Focus (on-line) Volume 6, Number 14, April 2001, dalam http://www.fpif.org/briefs/vol6/v6n14chinamil.html, diakses 26 Maret 2008.

James H. Nolt, “U.S.-China-Taiwan Military Relations”, World Policy Institute (on line), Volume 5, Number 11 April 2000, dari http://www.fpif.org/briefs/vol5/v5n11china_body.html, diakses 5 Maret 2008.

Skripsi, Diktat, dan Ensiklopedia:

Sukawarsini Djelantik, “Hubungan Internasional di Asia-Pasifik”, Diktat Kuliah FISIP HI Universitas Parahyangan, tidak diterbitkan, 2006, hlm 49.

Angga Rahmadi Wijaya, “Dampak Konsep Satu China Terhadap Keberadaan Taiwan”, Skripsi FISIP HI Universitas Pasundan, tidak diterbitkan, 2007.

Cybriwsky, RomanA., et al. "Japan." Microsoft® Encarta® 2006 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2005.

Boyne, Walter J. "Air Defense Systems." Microsoft® Encarta® 2006 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2005.

Lampiran: Kronologis Hubungan China-AS

National Security Archive Electronic Briefing Book No. 18


China and the United States:

From Hostility to Engagement, 1960-1998
Edited by Jeffrey T. Richelson
September 24, 1999



The relationship between the
United States and the People's Republic of China (PRC) over the fifty years since the PRC was established on October 1, 1949 has been extraordinarily complex. Extreme hostility turned into outright military conflict in Korea. Rapprochement in the early 1970s became a strategic partnership during the latter part of the Cold War--a partnership that was followed by today's often rocky relationship. Today and for the foreseeable future China will represent a key focus of U.S. foreign and international economic policy.

Several years ago the National Security Archive initiated a project to shed more light on U.S.-China relations. The purpose was to obtain critical documentation on key aspects of the U.S.-Chinese relationship, with a focus on the years 1969 to the present. Through Freedom of Information Act requests, collection of relevant publications, and archival research, the archive has amassed a collection of approximately 15,000 pages of documentation on U.S.-China interaction on foreign policy issues, the U.S.-PRC military relationship, the growing economic relationship between the two countries, as well as documents related to the several issues that separate the countries.

The documents, which include policy and research studies, intelligence estimates, diplomatic cables, and briefing materials, are published (with the exception of Document 15) in the the NSA's China and the United States: From Hostility to Engagement, 1960-1998 document set, part of the Archive's Special Collection Series. The following documents represent a small sample of the documents contained in the set.

This briefing book was prepared by Jeffrey T. Richelson, a Senior Fellow at the Archive. He is the director of the Archive's China and the United States project and previously directed Archive projects on intelligence, the military uses of space, and Presidential national security directives. He has published several books on intelligence, as well as articles in a variety of magazines and academic journals.


Document 1: Special National Intelligence Estimate,
"Communist
China's Advanced Weapons Program," July 24, 1963.

Source:

This SNIE was focused on one of the primary fears of U.S. policy makers in the early 1960s--that the PRC would soon acquire nuclear weapons. The fear was so great that thought was given to a preemptive strike to forestall PRC acquisition of such weapons. The estimate also reflects the increasing information the U.S. was obtaining from its spy satellite program, codenamed CORONA, about the Chinese nuclear and missile programs. At the same time, the estimate also reflects the potential limitations of overhead photography--for despite the newly available imagery CIA analysts were uncertain about many aspects of the Chinese program, and wrong about others--including the path China would take to its first atom bomb and the activities at some of the key facilities. That uncertainty was at least one significant factor in the decision of U.S. leaders not to attempt to eliminate China's nascent nuclear capability through a preemptive attack.

Document 2: National Security Study Memorandum 124, "Next Steps Towards the People's Republic of China, "April 19, 1971.

Source: Freedom of Information Act Request

President Nixon and national security adviser Henry Kissinger clearly came into office believing that the United States should reorient its China policy. But, in order to implement such a change, they required support from the various elements of the national security establishment. Possible initiatives had to be assessed in terms of how the People's Republic of China would probably respond, the potential costs and benefits of the initiatives, and the impact on U.S. relations with its long-time ally, the Republic of China. Through National Security Study Memorandum, such as NSSM 124, Kissinger tasked the national security bureaucracy to explore such questions.

Document 3: Memorandum for the Chairman, NSC Senior Review Group, "NSSM 124: Next Steps Toward the People's Republic of China (PRC)"

Source: Freedom of Information Act Request

A 1971 memorandum reported the results of the study initiated by NSSM 124. The study examined a variety of alternative policies the U.S. might adopt ranging from relatively modest steps to those that would involve more extensive policy changes with respect to the PRC and Taiwan.

The study also examined the issues involved, U.S. objectives and tactics and PRC objectives and tactics.

Document 4: Special National Intelligence Estimate, "Security Conditions in China", February 10, 1972.

Source: Freedom of Information Act Request

In support of President Nixon's forthcoming trip to China the intelligence community was tasked to produce a special intelligence estimate examining the possibility of incidents that would either endanger or seriously embarrass President Nixon during his trip. The estimate examined the possibility of incidents stemming from internal Chinese conflicts as well as from the Soviet Union, Taiwan, or individuals. The estimate concluded, in part based on clandestine intelligence reports, that "we have no evidence suggesting that President Nixon (or members of his party) will be exposed to any danger or embarrassment while in China.


Document 5: The White House, Memorandum of Conversation, [Participants include Mao Zedong, Zhou Enlai, Richard Nixon, and Henry Kissinger],
February 21, 1972.

Source: National Archives

The meeting which is the subject of this memcon is the first between Richard Nixon and Mao Zedong. The transcript reflects an effort on both leaders part to engage in light, complimentary, even humorous conversation before they address more serious issues. Eventually, they turn to issues such as relations with Japan, India-Pakistan, and the Soviet Union. At one point, Nixon tells Mao that they are brought together by the situation in the world as well as the recognition that a nation's "internal political philosophy"--in contrast to that nation's policy toward the rest of the world and the United States.

Document 6: Message, White House to U.S. Liaison Office, Peking, August 9, 1974.

Source: National Archives

On August 9, 1974 President Nixon, facing certain impeachment, resigned the residency. That same day, a Top Secret cable was sent to the Ambassador David Bruce, head of the U.S. Liaison office in Beijing. The cable instructed Bruce to deliver the enclosed personal message from Nixon's successor, President Gerald Ford, to Mao Zedong. In it Ford assures Mao that as "one of my first acts as President" he wishes to "reaffirm the same basic approach to the international situation that has been carried out under President Nixon" and that "our relationships with the People's Republic of China will remain a cardinal element of American foreign policy."

Document 7: Memorandum for the Assistant to the President for National Security Affairs, "U.S. Security Assistance to the Republic of China: NSSM 212," April 12,1976.

Source: Freedom of Information Act request

Taiwan, the Republic of China, has been the most consistent and serious irritant between the United States and China from the beginning of the normalization process (particularly for China). As a price of normalization and establishment of diplomatic relations the United States withdrew from the defense treaty it had with the ROC, agreed to a policy limitations concerning weapons sales, and withdrew forces from the island. Taiwan had not simply been a recipient of aid, but had provided a base for U.S. forces, pilots to fly U-2 and other reconnaissance missions over China, and territory close to the mainland from which the National Security Agency could conduct electronic eavesdropping operations. This memo represents part of the internal U.S debate over how to handle the arms sales question. It presents various options on the sale of weaponry along with the Department of Defense's recommendation. The issue persists to this day, but the process of U.S. disentanglement from its security relationship with Taiwan is a key element in the history of U.S.-China relations.


Document 8: National Security Decision Directive 140, "The President's Visit to the People's Republic of
China," April 21, 1984.

Source: Freedom of Information Act request.

Despite President Reagan's strong anti-Communist philosophy, his administration continued to expand the relationship with China, including in the intelligence and military sphere. During the Reagan administration National Security Decision Directives represented the most authoritative form of guidance on national security matters. The directive reproduced here outlines the President's goals for his forthcoming trips to China in three key areas--political/diplomatic, economic/trade/scientific and technological/cultural, and strategic/military. Specific objectives covered in the directive concern expanding U.S-Chinese political consultation in areas of common interest, nuclear cooperation, improving trade relations, collaboration with respect to the USSR, technology transfer, and expansion of contacts between U.S. and Chinese officials.

Document 9: Defense Intelligence Agency, Defensive Estimative Brief, "Nuclear Weapons Systems in China, "April 24, 1984.

Source: Freedom of Information Act Request

The closer relationship with China did not lessen the requirement to produce intelligence on China's domestic, foreign, trade, and military activities and policies. Chinese nuclear weapons was the focus of this short analysis. The brief explores Chinese nuclear weapons testing practices, nuclear warhead technology, and other related topics. Part of the discussion notes that "qualitative improvements that the Chinese are developing for their nuclear warheads will depend on both overt contact with U.S. scientists and technology, and the covert acquisition of U.S. technology."

Document 10: Cable, Department of State to U.S. Embassy Bonn, "Background on Chinese Missile Sales," September 29, 1988.

Source: Freedom of Information Act Request

In 1988, U.S. intelligence discovered that a key U.S. ally had covertly acquired from the PRC a number of CSS-2 intermediate-range ballistic missiles. The prospect of the introduction of such weapons into the volatile Middle East became a subject of great concern to U.S. national security policymakers. In anticipation of the trip of the West German Foreign Minister to Beijing, the State Department provided the embassy in Bonn with talking points in discussing the issue with West German officials, clearly in the hope that those points might be picked up on and reinforced during the Foreign Minister's trip.

Document 11: Department of State Briefing Paper, "Chinese Prisons and Forced Labor," April 25, 1991.

Source: Freedom of Information Act

Among the human rights issues that have become part of U.S-China relations is Chinese use of prisoners (including political prisoners) to produce goods for export. This State Department briefing paper provides basic information concerning the issue. It discusses the scope of the Chinese prison system, the number of individuals incarcerated, the number of political prisoners, the magnitude of prison exports, and the evidence that such exports are approved by Chinese policymakers.


Document 12: Secretary of Defense William J. Perry, Memorandum for the Secretaries of the Army, Navy, and Air Force, "U.S-China Military Relationship," August 1994.

Source: Freedom of Information Act Request

The U.S-China military relationship was severely damaged by the events at Tiananmen Square. It would not be until October/November 1993, when Assistant Secretary of Defense Charles Freeman traveled to Beijing that high-level contacts would resume. The following October, Secretary of Defense William J. Perry would travel to China to meet with Chinese officials, and address China's National Defense University. In this formerly Secret memo, written a few months before Perry's trip, the Defense Secretary gives his views concerning the direction of the renewed military relationship. The memo summarizes Perry's view of China's status and future, his objectives, and the means of attaining those objectives. He also notes some of the current limits to the relationship.

Document 13: DIA, Biographic Sketch, "General CHI Haotian," October 1995.

Source: Freedom of Information Act request.

The Defense Intelligence Agency's responsibilities include the production of biographic sketches on foreign military officials, even low ranking ones. The sketches describe the subjects position, his significance, politics, personal details. It also provides a chronology of the subject's career. The subject of this sketch, General Chi Haotian, served as Chief of the General Staff of the PLA during the Tiananmen crisis. He subsequently became Defense Minister. Two planned visits to the United States were postponed, the second postponement a result of China's March 1996 exercises in the vicinity of Taiwan. General Chi did make an official visit to the U.S. in December 1996. In response to reporters questions about allegations of PRC sales of nuclear technology, Chi says that "Some of these issues have been exaggerated and some of these issues simply do not exist."

Document 14: Office of Naval Intelligence, "Chinese Exercise Strait 961: 8-25 March 1996."

Source: ONI Public Release.

The United States decision to grant a visa to the President of Taiwan to attend a June 1995 class reunion at Cornell was one of a number of events that angered the PRC. Taiwan's higher international profile and its forthcoming democratic elections also caused concern in Beijing, and heightened the fear of an eventual Taiwanese move to declare independence. The PRC used extensive military exercises, involving missile strikes, as well as ground, naval, and air operations (some of which were canceled due to weather) to express its displeasure and intimidate Taiwanese voters. The exercises were analyzed by the Office of Naval Intelligence, which concluded the exercises were one in a series of rehearsals of a contingency scenario for the invasion of Taiwan.

Document 15: DIA, Biographic Sketch, "Lieutenant General
XIONG Guangkai," October 1996.

Source: Freedom of Information Act Request

The subject of this biographic sketch is the Deputy Chief of the PLA's General Staff, with responsibility in the areas of intelligence and foreign affairs. General Xiong is reported to have told a former U.S. official that the United States would not fight to defend Taiwan because "you will not sacrifice Los Angeles to protect Taiwan." It has also been alleged that in 1989 he supervised provocation operations against Chinese students.




[1] Rasionalis: berpikir untung rugi

[2] Realis: menekankan pentingnya peran negara dalam mencapai tujuan nasional

[3] Lihat Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man Standing, (Qalam, Yogyakarta, 2001)

[4] Bob Widyahartono, Bangkitnya Naga Besar Asia (Yogyakarta: ANDI, 2004)

[5] Margaret Huang, U.S. Human Rights Policy Toward China, Foreign Policy in Focus, Vol.6 No.8 March 2001 (on-line), dalam http://www.fpif.org/briefs/vol6/v6n08chinahr.html, diakses 26 Maret 2008.

[6] Ibid.

[7] Angga Rahmadi Wijaya, “Dampak Konsep Satu China Terhadap Keberadaan Taiwan”, Skripsi FISIP HI Universitas Pasundan, tidak diterbitkan, 2007, hlm 40.

[8] Joseph Gerson, Asia/Pacific Peace and Security Issues, Foreign Policy in Focus, Volume 2, Number 10 January 1997, (on-line), dalam http://www.fpif.org/briefs/vol2/v2n10asi.html, diakses 26 Maret 2008.

[9] Lawrence Ziring, International Relation: A Political Dictionary, yang diterjemahkan oleh T May Rudy dalam buku, Studi Strategis; Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin, Refika Aditama, Bandung, 2001, hlm 64-65.

[10] . Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional, 1993: PT. Gramedia: Jakarta, hlm 196-197.

[11] . James E. Dougherty and Robert I. Plattzgraff, Contending Theories of International Relations, 1981, hlm 249.

[12] Joseph Gerson, Ibid.

[13] Sigit Pamungkas, “Pokok-pokok Realisme dalam Politik Internasional”, dalam http://kahmibulaksumur.net/index.php/2007/11/02/pokok-pokok-realisme-dalam-politik-internasional, diakses 17 Maret 2008.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] George Marshall (1880-1959), Komandan militer AS, kepala staf militer AS selama perang dunia II; dan sebagai sekretaris negara (1947-49) dia berperan penting dalam bantuan ekonomi terhadap Eropa Barat dalam rangka pemulihan pasca perang.

[17] Sukawarsini Djelantik, “Hubungan Internasional di Asia-Pasifik”, Diktat Kuliah FISIP HI Universitas Parahyangan, tidak diterbitkan, 2006, hlm 49.

[18] . Walter S. Jones., Logika Hubungan Internasional:Presepsi Nasional (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1992), hlm. 176.

[19]. Ibid., hlm. 180.

[20] Thomas Bickford, “Myths and Realities of China’s Military Power”, Foreign Policy in Focus, Volume 6, Number 14 April 2001 (on-line), dalam http://www.fpif.org/briefs/vol6/v6n14chinamil.html, diakses 26 Maret 2008.

[21] Thomas J Christensen, “China, The US-Japan Alliance, and The Security Dilemma in East Asia”, G John Ikenberry, Michael Mastanduno (ed.) (New York: Columbia University Press, 2003), hlm 52.

[22] Wade L. Huntley and Robert Brown, “Missile Defense & China”, Foreign Policy in Focus (on-line) Volume 6, Number 3, January 2001, dalam http://www.fpif.org/briefs/vol6/v6n03taiwan.html, diakses tanggal 26 Maret 2008.

[23] Thomas Bickford,Myths and Realities of China’s Military Power”, Foreign Policy in Focus (on-line) Volume 6, Number 14, April 2001, dalam http://www.fpif.org/briefs/vol6/v6n14chinamil.html, diakses 26 Maret 2008.

[24] Wade L. Huntley and Robert Brown, Ibid.

[25] Ibid.

[26] Boyne, Walter J. "Air Defense Systems." Microsoft® Encarta® 2006 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2005.

[27] James H. Nolt, “U.S.-China-Taiwan Military Relations”, World Policy Institute (on line), Volume 5, Number 11 April 2000, dari http://www.fpif.org/briefs/vol5/v5n11china_body.html, diakses 5 Maret 2008.

[28] Ibid.

[29] Cybriwsky, RomanA., et al. "Japan." Microsoft® Encarta® 2006 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2005.

[30] I Wibowo, “Belajar dari China”, (Jakarta: Kompas, 2004), hlm 217.

Tidak ada komentar: