Jumat, 17 Oktober 2008

DIPLOMASI CHINA DALAM MENERAPKAN PROGRAM REUNIFIKASI TAIWAN

DIPLOMASI CHINA DALAM MENERAPKAN PROGRAM REUNIFIKASI TAIWAN

Oleh Panji Haryadi

e-mail: avatarumi@gmail.com

ABSTRAK

Perang Saudara di China (1946-1949) diantara kubu Komunis dan Kapitalis berakhir dengan kemenangan kubu komunis yang dipimpin oleh Mao Ze Dong. Kubu Kapitalis pimpinan Chiang Kai Sek yang kalah melarikan diri ke Pulau Formosa yang berada di seberang daratan China yang kini dikenal dengan nama Taiwan. Pihak China tidak mengakui Taiwan sebagai negara yang berdiri sendiri yang merdeka, bagi China, Taiwan merupakan bagian dari China. Sebaliknya, Taiwan pun tetap bersikeras bahwa Taiwan bukanlah bagian dari China, Taiwan adalah negara merdeka.

Hingga kini, persoalan antara China dan Taiwan belum mencapai titik temu. Kedua belah pihak tetap bersikeras dengan keinginan masing-masing. Di lain pihak, China yang memiliki kekuatan militer yang besar tidak berani begitu saja menyerang Taiwan dikarenakan adanya tekanan dari pihak Amerika Serikat (AS) yang melarang China untuk menggunakan kekuatan militer dalam proses reunifikasi. Akan tetapi China tidak berhenti sampai di sana saja, China menggunakan cara lain untuk mengembalikan Taiwan ke pangkuan China, yakni dengan diplomasi. Selain terus mengupayakan dialog dengan Taiwan, dengan kemampuan ekonomi yang kuat China membuat negara-negara di dunia agar sepakat untuk mengakui bahwa Taiwan merupakan bagian dari China. Diplomasi ini cukup efektif, sebab semakin hari negara-negara yang mengakui Taiwan sebagai negara semakin berkurang, termasuk AS.

Keywords: China-Taiwan, Reunifikasi, Diplomasi.

PENDAHULUAN

Perang Dingin yang terjadi di antara dua kubu besar Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet (US) di pertengahan tahun 1940an sampai dengan akhir 1980an berefek luas terhadap kondisi ideologi politik negara-negara lainnya di dunia. Selama Perang Dingin berlangsung, sebenarnya tidak pernah terjadi perang bersenjata langsung (armed conflict) di antara kedua negara super power tersebut (AS dan US).[1] Namun, Perang Dingin melahirkan konflik-konlik bersenjata lainnya yang berskala lebih kecil, baik itu konflik antar negara (interstates conflict), maupun konflik di dalam negara (conlict within states) yang berupa perang sipil. Diantara konflik-konflik yang disebabkan oleh Perang Dingin, masih ada yang bertahan hingga saat ini, yakni konflik antara China dan Taiwan.

China dan Taiwan pada awalnya merupakan suatu kesatuan, namun karena ada perbedaan ideologi di antara penduduk kedua negara tersebut, maka Taiwan memisahkan diri dan mendirikan negara sendiri sesuai dengan sistem politik dan ideologi yang mereka inginkan. [2] Saat ini Taiwan menganut ideologi Demokrasi-Kapitalis, dan China menganut Sosialis-Komunis.

Pada bulan April 1895, pada saat terjadi perang China-Jepang. Jepang memaksa pemerintahan Qing untuk menandatangani perjanjian Shimonoseki yang merugikan bagi China, serta menduduki wilayah Taiwan. Pada Juli 1937, Jepang melakukan penyerangan kembali dengan kekuatan penuh ke wilayah China. Lalu, pada Desember 1941, Pemerintahan China menyatakan deklarasi perang dengan Jepang dan menyatakan pada dunia internasional bahwa semua perjanjian, kesepakatan, dan kontrak yang terjadi dalam Sino-Japanese relation, termasuk perjanjian Shimonoseki telah dicabut. Kemudian China berkomitmen akan membangun kembali Taiwan.[3]

Pada Desember 1943, China mengeluarkan Deklarasi Kairo[4] yang berisi antara lain pemerintahan AS dan Inggris menyatakan bahwa Jepang harus mengembalikan semua wilayah yang telah diambil dari China, termasuk wilayah timur laut China, Taiwan, dan Kepulauan Tenghu. Proklamasi Postdam ditandatangani oleh China, Amerika Serikat, dan Inggris pada 1945 (kemudian diikuti Uni Soviet). Proklamasi Postdam menetapkan bahwa “isi dari Deklarasi Kairo harus ditegakkan”. Pada Agustus 1943, Jepang menyatakan menyerah dan menjanjikan untuk melaksanakan kesepakatan dan isi Proklamasi Postdam. [5]

Namun setelah Jepang menyerah dan perang selesai, tidak banyak terjadi perubahan yang cukup signifikan di China. Hal tersebut dikarenakan terjadinya konflik antara dua kubu kekuatan partai besar yang ada di China yaitu antara Partai Komunis China (PKC) yang dipimpin oleh Mao Zedong dan partai Guo Mindang (GMD) yang dipimpin oleh Chiang Kai-Shek. Pada awalnya kedua partai tersebut pernah bergabung melawan penjajahan Jepang di tahun 1937. Namun, setelah perang dengan Jepang usai, dikarenakan perbedaan ideologi (Komunis dan Kapitalis), kedua partai tersebut berseteru.[6]

Ditengah perebutan pengaruh antara AS dan US dalam Perang Dingin, AS berpihak kepada GMD yang berideologi kapitalis. AS ingin melihat China dipimpin oleh GMD, dan berusaha bertindak sebagai penengah dalam perundingan kesepakatan politik yang dilakukan oleh PKC dan GMD. AS mengirimkan Jenderal George Catlett Marshall[7] sebagai juru runding. Melalui Marshall, AS mengirimkan bantuan-bantuan militer kepada GMD. Namun, perundingan tersebut gagal sehingga berakibat pecahnya perang saudara (civil war) di antara para pendukung PKC dan GMD. Perang saudara tersebut berlangsung dari 1946 sampai dengan 1949.[8]

Perang saudara diakhiri dengan kekalahan GMD, kemudian Chiang Kai Sek dengan pasukannya yang tersisa kabur ke pulau Taiwan (Formosa), Chiang Kai Sek menundukan rakyat pulau tersebut yang mencoba menentang, dan mendirikan suatu kekuatan baru yang lebih kecil dibawah perisai Armada ke-7 Amerika Serikat, yang sejak tahun 1950 telah melindungi GMD terhadap serangan-serangan dari China Daratan.[9]

Pada tanggal 1 Oktober 1949, pemerintahan Rakyat dari PKC mengklaim bahwa dirinya adalah Pemerintah Republik China yang sah dari seluruh wilayah China. Di arena internasional PKC mengklaim bahwa pemerintahannya sebagai representasi China satu-satunya yang legal. Status sejarah Republik China tersebut masih berlaku sampai sekarang. Di awal berdirinya Republik China, kebijakan kepemimpinan komunis China menekankan sikap defensif sebagai prioritas utama China dalam hubungan internasionalnya. Sikap tersebut dapat disimak dalam hirarki prioritas perumusan politik luar negeri China sejak tahun 1949 sebagai berikut:

1. Pertahanan melawan serangan militer atau dominasi luar negeri.

2. Penyatuan kembali daerah-daerah terpencil dan terasing (terutama Tibet, Sinkiang, dan Monggolia Dalam).

3. Penggabungan Taiwan dalam struktur administratif nasional.

4. Pencegahan campur tangan non-militer asing dalam urusan-urusan dalam negeri China.

5. Pembangunan kembali respek/sikap hormat internasional, dan mencapai peranan memimpin dalam urusan-urusan regional dan internasional.[10]

Tujuan penelitian tulisan ini adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana diplomasi yang dilakukan China dapat membuat Taiwan kembali menjadi bagian dari China. Adapun pembatasan masalah dari tulisan ini adalah fokus pada bagaimana pergerakan diplomasi China mempengaruhi dunia Internasional agar mendukung program Reunifikasi Taiwan.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan research question sebagai berikut:

Bagaimana efektifitas diplomasi China dalam program Reunifikasi Taiwan?

KERANGKA PEMIKIRAN

Menurut Paul Scabury dalam bukunya Power, Freedom and Diplomacy yang dikutip oleh KJ. Holsti dalam bukunya Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis bahwa yang dimaksud tujuan nasional, adalah:

“Istilah tujuan nasional berkaitan dengan beberapa kumpulan cita-cita atau tujuan suatu bangsa yang berusaha dicapainya melalui hubungan dengan negara lain. Dengan kata lain, bahwa pengertian ini merupkan konsep umum tujuan nasional dan bersifat normatif. Pengertian lain yang bersifat deskriftip tujuan nasional dianggap sebagai tujuan yang harus dicapai suatu bangsa secara tetap melalui kepemimpinan pemerintah”.[11]

Perkembangan situasi internasional akan mempengaruhi kebijakan politik luar negeri suatu negara baik politik, ekonomi, sosial-budaya mapun pertahanan dan keamanan. Dari uraian di atas, jelas bahwa politik luar negeri merupakan dasar bagi posisi dan sikap masing-masing negara atau kelompok-kelompok negara dalam hubungan internasional yang diimplementasikan untuk kepentingan nasional negara tersebut. Seperti yang diutarakan oleh Oman Heryaman dalam Jurnal Hubungan Internasional 3, bahwa: “Kepentingan nasional yang dirumuskan oleh sebuah negara sebagai identifikasi dan adaptasi kepentingan terhadap sistem lingkungan internasional dan lingkungan domestik”.[12]

Untuk menciptakan perdamaian diperlukan sarana diplomasi, karena diplomasi merupakan teori dalam hubungan internasional dalam penyelesaian masalah sehingga dapat tercipta kesepahaman. Hans J Morgenthau dalam bukunya Politik Among Nations: The Struggle for Power and Peace mengatakan bahwa:

“Diplomasi ialah bentuk-bentuk dan cara-cara untuk mencapai tujuan serta memperoleh hasil yang diharapkan dalam hubungan internasional dengan menggunakan kecerdasan dan kelincahan berkenaan dengan pelaksanaan hubungan resmi pemerintah dari negara-negara berdaulat”.[13]

Di dalam pembicaraan sehari-hari, diplomasi mempunyai arti yang berbeda-beda. Praktik Diplomasi mensyaratkan adanya batasan dari kebijakan luar negeri. Kebijakan semacam itu dibuat dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti geografi, kebutuhan ekonomi dan sumber daya, strategi dan keperluan pertahanan, adanya persekutuan dengan negara lain, dan lain sebagainya.[14]

Sedangkan menurut Sir Victor Wellesley dalam bukunya Diplomacy in Fetters yang dikutip oleh Sumaryo Suryokusumo dalam bukunya Praktik Diplomasi, bahwa:

“Diplomasi bukanlah merupakan kebijakan, tetapi merupakan lembaga untuk memberikan pengaruh terhadap kebijakan tersebut. Namun diplomasi dan kebijakan keduanya saling melengkapi karena seseorang tidak akan dapat bertindak tanpa kerja sama satu sama lain. Diplomasi tidak dapat dipisahkan dari politik luar negeri, tetapi keduanya bersama-sama merupakan kebijakan eksekutif-kebijakan untuk menetapkan strategi, diplomasi, dan taktik”.[15]

Diplomasi menurut Jack C. Plano dan Roy Olton dalam buku The International Relations Dictionary adalah:

“Diplomasi berkaitan dengan seluruh proses dalam hubungan luar negeri, termasuk perumusan kebijakan dan pelaksanaannya. Dalam arti luas, Diplomasi dan politik luar negeri suatu negara adalah sama, namun dalam arti yang lebih sempit dan tradisional, diplomasi terkait dengan cara-cara dan mekanisme, sedangkan politik luar negeri menyangkut tujuan dan maksud. Dalam arti yang lebih terbatas ini, maka diplomasi mencakup teknik operasional di mana suatu negara mencari kepentingannya di luar yuridiksinya”.[16]

Secara teoritis dan praktek, konsep diplomasi pun mengalami perkembangan-perkembangan, diantaranya di bawah kepemimpinan Dag Hammarskjöld (1953-1961), UN mempraktekkan konsep preventive diplomacy. Konsep tersebut dilahirkan ketika dunia pasca Perang Dunia II dirundung perang dingin di antara dua negara super power. Konsep preventive diplomacy dipraktekkan untuk mencegah konfrontasi bersenjata langsung di antara dua negara super power. Selain itu, konsep tersebut dipraktekkan juga dalam skala yang lebih kecil, yaitu pada krisis Suez (1956), dan Lebanon (1958).[17]

Dalam perkembangan selanjutnya, setelah perang dingin berakhir konsep preventive diplomacy mengalami perkembangan makna. Di bawah kepemimpinan Boutros Boutros Ghali (1992-1996), UN merumuskan kembali konsep preventive diplomacy. Ghali mendefinisikan preventive diplomacy dengan “aksi untuk mencegah perselihan yang (berpotensi) akan muncul di antara partai (kelompok/negara),” lebih jauh Ghali menambahkan “untuk mencegah perselisihan yang ada agar tidak meningkat menuju konflik dan membatasinya apabila nanti terjadi.” Di sini Ghali tidak menjelaskan lebih lanjut perbedaan di antara perselisihan dan konflik, tetapi Michael Lund mentafsirkannya dengan “efek apa yang akan ditimbulkan dari perselisihan dan konflik”. Menurut Lund, perselihan mengakibatkan konflik yang tidak berujung pada kekerasan, sedangkan konflik mengakibatkan kekerasan. Perselisihan dan konflik ini bukan hanya saja terjadi di antara dua negara super power (major power) seperti pada halnya perang dingin, tetapi bisa terjadi pada pihak mana saja. Juga, dalam prakteknya, preventive diplomacy dilaksanakan tidak hanya pada negara yang belum berselisih tetapi belum sampai pada taraf kekerasan, tetapi juga pada negara yang sudah berselisih menggunakan kekerasan.[18]

Definisi lain preventive diplomacy yang dirumuskan oleh pemerintah AS lebih menuju kondisi internal dari suatu negara seperti peningkatan ekonomi, demokratisasi pemerintahan, kontrol populasi dan kerusakan lingkungan hidup, dan supremasi hukum. Lebih spesifik lagi, beberapa pemerintah negara berkembang mendefinisikan preventive diplomacy sebagai pertumbuhan ekonomi.[19]

Akan tetapi, menurut Lund, definisi-definisi di atas masih terlalu luas dan tidak fokus. Lund, mendefinisikan preventive diplomacy dengan “aksi yang dilakukan pada tempat dan waktu yang potensial berselisih agar tidak menjadi ancaman dan perang bersenjata, dan berkaitan juga dengan paksaan melalui kekerasan dari suatu negara atau kelompok untuk menyelesaikan perselisihan yang muncul dari masalah ekonomi, sosial, politik, dan perubahan (sistem) internasional.” Aktor yang melakukan preventive diplomacy bisa datang dari pemerintah, organisasi multilateral, NGOs, individu, atau pihak yang berselisih itu sendiri.[20]

Kebijakan luar negeri atau politik luar negeri dengan diplomasi keduanya sangat erat membentuk dan menciptakan peran suatu negara dalam politik internasional. Kadang-kadang sangat sukar dalam praktiknya untuk dibedakan satu sama lain. Hal ini bisa terjadi jika seseorang menyetujui pandangan bahwa kebijakan tersebut merupakan sesuatu yang dianut oleh pemerintahannya, sesuai dengan pepatah bahwa perbuatan itu lebih berarti daripada kata-kata. Politik luar negeri suatu negara lazimnya akan terdiri dari tujuan dan prinsip-prinsipnya di mana negara itu berusaha untuk meningkatkan urusan-urusan internasional. Pada umumnya, prinsip dan tujuan tersebut dinyatakan secara terbuka atau dapat disimpulkan dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum. Diplomasi adalah cara dimana pemerintah berusaha mencapai tujuan dan mendapatkan dukungan dari prinsip-prinsip tersebut. Hal itu merupakan proses politik, di mana politik luar negeri suatu negara pertama-tama dipertaruhkan, kemudian diarahkan untuk tujuan dan prinsip tersebut untuk mempengaruhi kebijakan dan sikap dari negara lain.[21]

PEMBAHASAN : Diplomasi China Dalam Menerapkan Kebijakan Satu China

Pada era Mao Zedong (1949-1978), kebijakan China terhadap Taiwan hanya didasarkan semata-mata untuk membebaskan Taiwan melalui kekuatan militer. Namun pada pertengahan 1950-an, China mulai mengembangkan inisiatif damai dengan mengajukan negosiasi dengan pemerintahan GMD, walaupun dengan dasar kebijakan pemaksaan secara militer. Pada pertengahan tahun 1950, Beijing mengusulkan negosiasi dengan pihak AS di Jenewa (yang dilanjutkan di Warsawa). Bulan April 1955, PM China Zhou Enlai mengusulkan negosiasi dengan pihak berwenang Taiwan, dilanjutkan pada bulan April 1957, Mao juga menyerukan keinginan dari PKC untuk bekerja sama dengan GMD. Taiwan tidak mengindahkan inisiatif tersebut karena dianggap sebagai propaganda semata. Namun, kedua pihak membuat kontak melalui jalur rahasia, dan menjalankan proposal dan perencanaan untuk reunifikasi, yang mirip dengan formula “one country, two system” yang sekarang diusulkan oleh China. Namun revolusi budaya yang dimulai tahun 1962, membawa akhir bagi pembicaraan tersebut. [22]

Pada awal era Deng Xiaoping akhir tahun 1978, Beijing meninggalkan kebijakan membebaskan Taiwan melalui kekerasan dan membentuk suatu kebijaksanaan baru yaitu “Peacefull Reunification”. Secara bertahap, diluncurkan berbagai inisiatif damai terhadap Taiwan sampai dengan Januari 1979.[23] Dalam melaksanakan modernisasi, Deng melakukan suatu kunjungan yang mengundang kontroversi, yaitu dengan mengunjungi AS dan bertemu Presiden Carter pada 1979. Buah dari kunjungan tersebut adalah terjalinnya kerjasama dan hubungan diplomatik AS dan China.. Selain itu hubungan diplomatik dan kerjasama dengan Jepang pun diperkuat secara signifikan. Terbukti dengan munculnya kesepakatan-kesepakan mengenai peningkatan investasi negara Jepang di China dibawah lembaga Sino-Japanese relation.[24]

Selanjutnya NPC (standing commite of China’s National People’s Congress) mengirimkan pesan kepada Taiwan. Pada tanggal 30 September 1981, Ye Yiajin, ketua NPC mengumumkan sembilan proposal untuk mengatasi permasalahan Taiwan, yang dikenal sebagai ‘Inisiatif Beijing’. Inisiatif tersebut isinya adalah sebagai berikut:

1. Pelepasan perdagangan dan komunikasi antara Taiwan dan RRC. Dengan cara ini China berharap komunikasi yang sebelumnya membeku dapat dicairkan. Komunikasi tersebut dilakukan secara formal mau pun non-formal. Cara non-formal dilakukan melalui dibukanya hubungan bisnis dengan kalangan pebisnis dari Taiwan.

2. Otonomi untuk Taiwan dan hak untuk membentuk angkatan bersenjata bagi Taiwan.

3. Peran bagi perwira Taiwan dalam sistem politik RRC. Dengan dibukanya hubungan militer, China berharap kepercayaan akan jalan damai dapat terbangun. Proses pembangunan kepercayaan tersebut (Confidence Building Measure) pada dasarnya adalah pembukaan secara bertahap akan kemampuan militer kedua negara.

4. Pembentukan ekonomi kapitalis Taiwan.

5. Dukungan finansial kepada Taiwan dan pemerintah pusat apabila diperlukan. Tawaran ini merupakan sebuah tawaran akan kebebasan untuk menganut sistem ekonomi yang bersebrangan dengan China. Deng menyebutnya dengan istilah one country two system.

6. Kebebasan penduduk Taiwan untuk menetap di China daratan.

7. Peranan yang menguntungkan bagi kapitalis Taiwan Dalam modernisasi ekonomi China. (Sama dengan point 4 dan 5).

8. Pembicaraan GMD dan PKC mengenai Reunifikasi. Pembuktian niat baik China untuk melakukan proses reunifikasi dengan cara damai.

9. Proposal dari rakyat mengenai bagaimana reunifikasi dapat diwujudkan. Jaminan dari pemerintah China terhadap Taiwan untuk melaksanakan cara-cara Demokratis.[25]

Inisiatif Beijing tersebut mendapatkan publisitas hebat, media-media internasional meliput, membahas, dan memberitakannya pada dunia internasional. Sekitar seminggu pasca diumumkannya pernyataan tersebut, ribuan pernyataan datang agar Taiwan segera mengikat kerjasama dengan China. China juga mengambil tindakan unilateral dengan memajukan perdagangan, seperti menghilangkan persyaratan tertentu terhadap barang-barang Taiwan dan menggandeng pebisnis Taiwan untuk bergabung dengan China. China juga berjanji bahwa Taiwan akan tetap dapat mempertahankan sistem intelejen, administrasi, dan legal konstitusional. Dalam konstitusi baru Tahun 1982, ditambahkan beberapa pasal, yaitu pasal 13, yang menyatakan memperbolehkan pengaturan region administratif yang akan beroperasi di bawah azas hukum baru. Pasal ini ditargetkan bagi Taiwan dan Hongkong.[26]

Langkah-langkah kerjasama dengan Inggris pun dibangun melalui Sino-British joint declaration yang pada 19 Desember 1984,yang isinya mendeklarasikan bahwa pada tahun 1997 pemerintahan Hongkong akan dikembalikan kepada negara China. Dengan syarat Negara China tidak akan mengintervensi sistem perekonomian kapitalis Hongkong selama 50 tahun kedepan.[27] Perjanjian yang serupa juga dilakukan dengan negara Portugis ketika wilayah Macau dikembalikan menjadi bagian dari wilayah China.

China mengharapkan kebijakan terhadap Taiwan yang baru akan memfasilitasi normalisasi hubungan antara China dan Amerika Serikat serta krisis Taiwan, yang akan membawa penyelesaian yang lebih mudah dan cepat dalam reunifikasi. Saat masyarakat Taiwan meyakini bahwa mereka tidak mendapat dukungan dari komunitas internasional, terutama Amerika Serikat, dan menyadari bahwa permasalahan hanya akan diselesaikan dalam diri mereka sendiri, maka mereka akan mengambil kesempatan yang diberikan oleh Beijing.[28]

China terlalu percaya diri bahwa hubungan China-Amerika Serikat akan menuju normalisasi. Ekspresi yang berkembang adalah Washington akan mengakomodasi segala permintaan China mengenai Taiwan. Tetapi perilaku Amerika Serikat terhadap Taiwan justru jauh dari yang diharapkan. Bagi China, keberadaan AS di wilayah Asia Timur tidak bisa dianggap sepele, sebab China memandang AS sebagai negara yang kapasitas dan kapabelitasnya di bidang ekonomi dan militer sangat kuat. Statement ini didukung oleh fakta bahwa China tidak berani melakukan tindakan militer terhadap keberadaan Taiwan karena takut terhadap ancaman AS. Sebagaimana tertuang dalam Taiwan Relation Act yang dibuat tahun 1979, sebuah dasar hukum yang menjadi landasan AS untuk mengintervensi hubungan China-Taiwan apabila China menggunakan cara kekerasan dalam proses reunifikasi.[29] Alasan AS untuk turut campur dalam masalah perdamaian di Asia Timur adalah karena secara ekonomi AS berkepentingan di wilayah Asia Pasifik. Bagaimana tidak, Asia Pasifik adalah suatu kawasan di mana 60 persen produk industri dan pertanian dunia dihasilkan. Asia Pasifik adalah jantung ekonomi dunia.[30] Ketika stabilitas keamanan di Asia Pasifik terganggu, maka ekonomi dunia pun akan terganggu, termasuk ekonomi AS. Namun demikian, China tidak merubah dasar mengenai Taiwan. China melihat cara terbaik untuk melaksanakan reunifikasi adalah dengan cara preventive diplomacy, yakni dengan meningkatkan kemakmuran dan kesuksesan ekonomi, disertai dengan pengembangan perdagangan dan kesempatan pasar yang luas yang akan menarik investor luar negeri.[31]

Dengan strategi tersebut, China melanjutkan usahanya dengan mengisolasi Taiwan dari hubungan internasional sampai saat kesempatan muncul. Melalui beberapa proposal reunifikasi dan inisiatif, China mengharapkan akan mendapatkan dukungan internasional dan perhatian akan beralih pada penolakan Taiwan dalam proposal perdamaian. Dengan cara ini, penyebab akan meningkatnya konflik di Selat Taiwan dapat dialihkan ke Taiwan. Jika pilihan terbaik (reunifikasi melalui reunifikasi) dapat dicapai, China akan berharap tetap mempertahankan status quo dan menurunkan gerakan kemerdekaan, dengan demikian China akan lebih percaya diri melalui resiko yang lebih rendah. Pada saat yang sama China meningkatkan integrasi dua kekuatan ekonomi, dengan harapan tidak hanya memfasilitasi terjadinya reunifikasi tetapi juga menguatkan posisi China.[32]

KESIMPULAN

Sejak tahun 1978 Cina telah mendayung maju melalui reformasi besar-besaran di bidang Ekonomi. China layaknya sebuah kapal raksasa yang harus membawa 1,2 milyar orang di seluruh China dan harus mampu bertahan dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Ketika Deng Xiaoping pada tahun 1978 muncul sebagai pemimpin Cina dengan memperkenalkan “Reformasi dan Kebijakan Pintu Terbuka (Gaige Kaifang) dan menyerukan “Empat Modernisasi” yang meliputi sektor pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pertahanan. Dibawah teorinya untuk mendirikan negara sosialis dengan karakter Cina, RRC mencapai berbagai prestasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kemajuan ekonomi Cina berdampak kepada kemajuan militernya, karena konsep pertahanan keamanan merupakan salah satu isi dari 4 modernisasi. Peningkatan anggaran untuk militer Cina dari tahun ke tahun semakin meningkat, bahkan saat ini Cina merupakan kekuatan terbesar di Asia dengan 3 juta tentara dan US$ 34 Milyar anggaran pertahanannya. Perubahan di dalam negeri RRC telah membawa berbagai perubahan positif dalam kebijakan yang dibuat negara Tirai Bambu ini. Salah satunya adalah pola dalam menjalankan kebijakan satu China atau reunifikasi dimana sebelumnya dilalui oleh jalan kekerasan atau kekuatan bersenjata, dirubah menjadi jalur diplomasi. Reunifikasi damai rupanya memberikan hasil lebih baik. Hal itu terlihat dari berhasilnya China mendapatkan kembali wilayah Macau dan Hongkong. Dengan cara tersebut China tidak mendapat penentangan dari pihak internasional.

Dalam reunifikasi pemerintahan, China cukup sabar namun konsisten dalam menjalankan upaya pengembalian Taiwan. Membentuk Dewan reunifikasi merupakan salah satu dari upaya negara China. Selain itu China juga menawarkan sistem one Country two sistem, dimana Taiwan dibebaskan untuk tetap menggunakan sistem kapitalis dan demokratis walaupun berbeda dengan yang digunakan China namun tetap menganut One China Policy. Serta beberapa tawaran proposal lainya.

Perubahan pola dalam proses reunifikasi menjadikan respon dari dunia internasional menjadi positif. China juga melakukan upaya penekanan di wilayah diplomasi dengan cara tidak mau bekerja sama dengan negara yang mengakui Taiwan sebagai negara. Sehingga semakin berkurangnya negara yang mendukung Taiwan dan semakin banyak negara yang mendukung Kebijakan Satu China. Strategi ini berjalan dengan sangat efektif, sebab hari ini China telah menjadi salah satu pilar ekonomi dunia. Paling tidak momen olimpiade dapat menjadi tolak ukur betapa besarnya pengaruh China bagi negara-negara lain di dunia. Olimpiade Beijing amat penting bagi kebanggaan seluruh bangsa China. Philip Bowring, mantan Pemimpin Redaksi Far Eastern Economic Review, dalam artikel di The International Herald Tribune (9/4/2008), menyatakan, ”Berjaga-jagalah bila China marah” bila Olimpiade Beijing disabot oleh demonstrasi dan tindak kekerasan dari pihak asing. Berbagai tekanan bukan tidak mungkin akan membangkitkan nasionalisme China yang lebih kuat, bahkan akan timbul sikap anti-asing seperti pernah terjadi pada zaman Mao Zedong. Olimpiade Beijing juga merupakan pertanda, China akan terus terbuka untuk dunia luar. Hari ini kawasan Asia Timur bahkan dunia memerlukan China, tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga strategi, keamanan, dan politik seperti penyelesaian masalah proliferasi nuklir di Korea Utara.[33]

Selain China-Taiwan sendiri, aktor yang berperan penting dalam preventive diplomacy adalah AS yang memberi ultimatum terhadap China untuk tidak melakukan pendekatan militer. AS pun dalam kebijakkan luar negerinya mengubah pandangan terhadap China, yang pada awalnya dianggap sebagai ancaman, berubah menjadi negara sahabat. Dalam konteks kemiliteran, diantara seluruh pengembangan militer China, salah satu bagian terpentingnya adalah konsentrasi terhadap National Missile Defense (NMD) dan Theatre Missile Defense (TMD). NMD adalah senjata penangkal misil jarak jauh (intercontinental ballistic missiles/ICBMs). TMD adalah senjata penangkal misil jarak dekat (shorter-range missiles). Alasan China fokus terhadap NMD dan TMD terbagi ke dalam tiga kategori. Pertama, walupun banyak pengamat meragukan bahwa China akan menginvasi Taiwan secara militer, tetapi posisi Taiwan yang secara geografis dekat dengan China rentan terhadap serangan misil jarak pendek milik China. Ketika Taiwan memiliki fasilitas TMD, China khawatir pengaruh politiknya untuk mengintimidasi pemimpin Taiwan akan berkurang. Selain itu, menurut pandangan China, keberadaan TMD di Taiwan akan meningkatkan sentimen warga Taiwan untuk memerdekakan diri. Perlu diketahui, yang bertanggung jawab terhadap penyebaran TMD di Taiwan adalah AS. AS adalah mitra dagang Taiwan dalam ekspor persenjataan.[34] Taiwan Relations Act (TRA) 1979 mengizinkan AS untuk menjual senjata untuk kepentingan pertahanan. Dalam beberapa dekade terakhir AS sudah menjual senjata ke Taiwan, diantaranya 126 F-16s TMD Patriot antimissile systems, delapan Knox-class frigates, tujuh Perry-class frigates, M-60A3 tanks, beserta perlengkapan elektroniknya.[35] Namun, di tahun 2000 AS malah menjalin kerjasama keamanan dengan China. Kemudian pada tahun 2006, menanggapi terpilihnya kembali Presiden Taiwan Chen Sui Bian (2004), AS tetap mendukung kebijakan satu China dan mendorong China-Taiwan untuk terus berdialog dengan damai. Dukungan AS terhadap reunifikasi tetap masih dengan satu syarat, yaitu tidak adanya kekerasan di wilayah tersebut. Dan di luar itu, AS yang dikenal sebagai pemasok persenjataan Taiwan, mengurangi ekspor persenjataannya ke Taiwan untuk membangun kepercayaan dengan China. Sebaliknya, China pun menanggapi dengan positif melalui pengurangan pembangunan militernya dan mengalihkannya pada pembangunan ekonomi yang jauh lebih terbuka. Untuk kasus China-Taiwan, nyata-nyata AS memberi pengaruh yang begitu besar. Hubungan bilateral yang hangat antara AS dan China memberi pengaruh yang sangat besar terhadap proses preventive diplomacy.

Alasan AS dan negara-negara lain yang mendukung kebijakan One China Policy cukup kuat. Pemerintah China sangat serius meningkatkan kekuatan militer mereka. Sejak tahun 1990, China beberapa kali meningkatkan anggaran militernya dalam jumlah cukup besar. Tahun 1994, China meningkatkan anggaran militernya hingga 18 persen, tahun 1995 sebesar 21 persen, tahun 2005 sebesar 12,6 persen, dan tahun 2006 sebesar 14,7 %. Saat ini, kekuatan militer China merupakan yang terbesar di dunia dengan jumlah personel militer 2,3 juta orang. Walaupun menurut Jiang Enzhu, juru bicara parlemen nasional China, bahwa penambahan anggaran militer China sebagian besar akan digunakan untuk meningkatkan gaji dan biaya hidup tentara China, tetapi anggaran tersebut juga akan digunakan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas peralatan militer. China saat ini tengah melakukan modernisasi persenjataan dengan memberi penekanan pada peningkatan kekuatan laut yang mengarah pada blue water navy, yaitu penguasaan kemampuan militer untuk beroperasi di lautan dalam. Hal ini dapat dilihat dari keinginan angkatan laut China untuk memiliki kapal induk.[36] Memang, pada saat ini kekuatan militer ini tidak digunakan secara langsung untuk melakukan perang, namun kapabelitas militer ini dapat meningkatkan posisi tawar China di mata dunia Internasional. Dengan demikian, tidak akan ada satupun negara yang berani “bermain-main” dengan kekuatan militer China.

Selain itu, gaya kepemimpinan pun memberi pengaruh yang besar terhadap upaya preventive diplomacy. Di masa kepemimpinan Deng Xiao Ping, gaya kepemimpinan China menjadi jauh lebih moderat. Walaupun tragedi Tiananmen sempat terjadi, tetapi dalam hal lainnya Deng menunjukkan sikap yang jauh lebih moderat dibanding era kepemimpinan Mao. Deng lah yang menjadi pelopor dibukanya kembali hubungan diplomatik dengan AS. Dan sampai saat ini, gaya kepemimpinan Deng masih diwariskan kepada pemimpin-pemimpin China yang baru.

Namun hingga saat ini, sikap pemerintah Taiwan dalam hal ini tetap tidak ingin berada dibawah pemerintahan China yang menurut mereka tidak mengerti akan nilai-nilai demokrasi. Taiwan pun membubarkan dewan reunifikasi serta menolak tawaran-tawaran lainya yang berbau reunifikasi. Penolakan-penolakan tersebut disertai dengan peningkatan kerjasama militer Taiwan dengan Amerika Serikat dalam hal pembelian senjata. Hal tersebut merupakan hasil dari Taiwan Relation Act, dimana menyatakan bahwa Amerika memiliki hak untuk mengintervensi jika dalam proses Reunifikasi China menggunakan jalur kekerasan. Tetapi, walaupun demikian, AS seolah-olah menjadi watch dog bagi Taiwan, AS berulang kali mengingatkan pemerintah Taiwan agar jangan sekalipun memproklamasikan kemerdekaan. Begitu dahsyatnya pengaruh China, bahkan negara sebesar dan sekuat AS pun dapat terpengaruh oleh tekanan-tekanan yang dilakukan China di dunia Internasional.

Taiwan memiliki beberapa negara yang mendukung akan keberadaan Taiwan sebagai negara, walaupun negara-negara yang mendukung hanya negara kecil yang merupakan negara yang diberi bantuan oleh Taiwan.[37] Selain itu jumlah negara yang mendukung semakin berkurang. Namun Taiwan tetap mempertahankan prinsip untuk tidak tunduk kepada China.

Tetapi dengan kondisi China yang semakin menguat baik secara ekonomi, militer, dan diplomasi, serta tidak adanya itikad untuk bersatu dari pihak Taiwan, maka kemungkinan terjadinya konflik akan semakin besar. Karena pemerintahan china dan masyarakatnya beranggapan bahwa Taiwan merupakan bagian dari negara china baik dari segi wilayah atau teritori maupun dari masyarakatnya. Masalah Taiwan juga merupakan permasalahan yang sangat sensitif bagi masyarakat China. Pada saat ini tak ada satu pun masyarakat China yang setuju Taiwan merdeka, dan hampir seratus persen menuntut kembalinya Taiwan ke “pangkuan ibu pertiwi.” Dengan kedigdayaan China yang semakin besar dari hari ke hari, maka tampaknya akan menjadi semakin sulit bagi Taiwan untuk memperoleh pengakuan dunia Internasional untuk merdeka. Berdasarkan fakta sejarah di atas, di tahun 1971 majelis umum PBB dan juga negara-negara di dunia, menilai bahwa pemerintahan China yang sah adalah pemerintahan yang dibentuk oleh PKC, dan secara administratif, Taiwan merupakan bagian dari China.[38] Namun, hingga saat ini pemerintah dan rakyat Taiwan masih menganggap bahwa Taiwan adalah negara yang berdiri sendiri, merdeka, dan berdaulat. Taiwan aktif melancarkan diplomasi dan perdagangan di arena internasional.[39]

REFERENSI

Buku

Walter S. Jones., Logika Hubungan Internasional:Presepsi Nasional (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1992).

K. J. Holsti, Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis, Binacipta Bandung, 1987.

Hans J Morgenthau, Politik Antarbangsa, Binacipta, Bandung, 1991.

Sumaryo Suryokusumo, Praktik Diplomasi, bpIblam, Jakarta, 2004.

Victor Wellesley, Diplomacy in Fetters, 1944.

Jack C. Plano dan Roy Olton, The International Relations Dictionary, Fourth Edition Longman California, 1998.

Michael S Lund, Preventing Violent Conflicts: A Strategy For Preventive Diplomacy (Washington DC: United States of Peace Press,1996).

Jurnal, Skripsi, dan Diktat

Sukawarsini Djelantik, “Hubungan Internasional di Asia-Pasifik”, Diktat Kuliah FISIP HI Universitas Parahyangan, tidak diterbitkan, 2006, hlm 49.

Oman Heryaman, Jurnal Hubungan Internasional 3, Fisip Unpas Bandung, 2002, hal. 83.

Angga Rahmadi Wijaya, “Dampak Konsep Satu China Terhadap Keberadaan Taiwan”, Skripsi FISIP HI Universitas Pasundan, tidak diterbitkan, 2007, hlm 40.

Sopia Dewi, “Bantuan persenjataan Amerika Serikat dan Proses Reunifikasi RRC-Taiwan”, Skripsi HI FISIP Universitas Pasundan Bandung, tidak diterbitkan, 2000, hlm. 56.

Internet

http://www.chinadaily.com.cn/china/2006-04/15/content_568452.htm. Visit lets Americans better know China By Sun Shangwu. diakses pada tanggal 17 April 2006.

“Juklak Kebijakan One China Policy Harus Diubah”, Republika (on-line), Rabu 21 Juni 2006, dalam http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=253208&kat_id=23, diakses 30 Juni 2006.

Yusuf Wanandi, Olimpiade Beijing dan Masalah Tibet, Kompas-online, Senin, 14 April 2008, dalam http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0305/21/opini/323720.htm, diakses 14 April 2008.

www.kompas.com/ver1/internasional/0709/08/0405155.htm, diakses 14 April 2008.

Joseph Gerson, Asia/Pacific Peace and Security Issues, Foreign Policy in Focus, Volume 2, Number 10 January 1997, (on-line), dalam http://www.fpif.org/briefs/vol2/v2n10asi.html, diakses 26 Maret 2008.

Wade L. Huntley and Robert Brown, “Missile Defense & China”, Foreign Policy in Focus (on-line) Volume 6, Number 3, January 2001, dalam http://www.fpif.org/briefs/vol6/v6n03taiwan.html, diakses tanggal 26 Maret 2008.

Thomas Bickford,Myths and Realities of China’s Military Power”, Foreign Policy in Focus (on-line) Volume 6, Number 14, April 2001, dalam http://www.fpif.org/briefs/vol6/v6n14chinamil.html, diakses 26 Maret 2008.

Encyclopedia Digital

Legvold, Robert. "Cold War." Microsoft® Encarta® 2006 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2005.

Cybriwsky, RomanA., et al. "Japan." Microsoft® Encarta® 2006 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2005.



[1] Legvold, Robert. "Cold War." Microsoft® Encarta® 2006 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2005.

[2] Perkara apakah Taiwan itu merupakan suatu negara atau bukan, akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini.

[3] Angga Rahmadi Wijaya, “Dampak Konsep Satu China Terhadap Keberadaan Taiwan”, Skripsi FISIP HI Universitas Pasundan, tidak diterbitkan, 2007, hlm 40.

[4] Deklarasi Kairo adalah kesepakatan yang ditandatangani oleh tiga kepala negara China (Chiang Kai Sek), AS (Franklin D. Roosevelt) dan Inggris (Winston Churchill). Deklarasi tersebut ditandatangi di Kairo (Mesir) pada tanggal 1 Desember 1943. Isi dari deklarasi tersebut adalah kesepakatan untuk mengembalikan Taiwan yang di bawah kependudukan Jepang kembali ke China.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] George Marshall (1880-1959), Komandan militer AS, kepala staf militer AS selama perang dunia II; dan sebagai sekretaris negara (1947-49) dia berperan penting dalam bantuan ekonomi terhadap Eropa Barat dalam rangka pemulihan pasca perang.

[8] Sukawarsini Djelantik, “Hubungan Internasional di Asia-Pasifik”, Diktat Kuliah FISIP HI Universitas Parahyangan, tidak diterbitkan, 2006, hlm 49.

[9] . Walter S. Jones., Logika Hubungan Internasional:Presepsi Nasional (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1992), hlm. 176.

[10]. Ibid., hlm. 180.

[11] K. J. Holsti, Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis, Binacipta Bandung, 1987. hal. 86.

[12] Oman Heryaman, Jurnal Hubungan Internasional 3, Fisip Unpas Bandung, 2002, hal. 83.

[13] Hans J Morgenthau, Politik Antarbangsa, Binacipta, Bandung, 1991 hal. 153.

[14] Sumaryo Suryokusumo, Praktik Diplomasi, bpIblam, Jakarta, 2004, hal. 7.

[15] Victor Wellesley, Diplomacy in Fetters, 1944, hal. 10.

[16] Jack C. Plano dan Roy Olton, The International Relations Dictionary, Fourh Edition Longman California, 1998, hal. 241 yang dikutip oleh Sumaryo, Ibid., hal. 53.

[17] Michael S Lund, Preventing Violent Conflicts: A Strategy For Preventive Diplomacy (Washington DC: United States of Peace Press,1996), hlm. 32-33.

[18] Ibid, hlm 34.

[19] Ibid, hlm 35

[20] Ibid, hlm 37

[21] Op Cit Sumaryo Suryokusumo, hal. 56.

[22] Angga Rahmadi Wijaya, Op.Cit, hlm 43

[23] Ibid.

[24] Cybriwsky, RomanA., et al. "Japan." Microsoft® Encarta® 2006 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2005.

[25] Sopia Dewi, “Bantuan persenjataan Amerika Serikat dan Proses Reunifikasi RRC-Taiwan”, Skripsi HI FISIP Universitas Pasundan Bandung, tidak diterbitkan, 2000, hlm. 56.

[26] Angga Rahmadi Wijaya, Op.Cit. Hlm 45

[27]. http://www.chinadaily.com.cn/china/2006-04/15/content_568452.htm. Visit lets Americans better know China By Sun Shangwu. diakses pada tanggal 17 April 2006.

[28] Angga Rahmadi Wijaya, Op.Cit. Hlm 46

[29] Ibid, hlm 40.

[30] Joseph Gerson, Asia/Pacific Peace and Security Issues, Foreign Policy in Focus, Volume 2, Number 10 January 1997, (on-line), dalam http://www.fpif.org/briefs/vol2/v2n10asi.html, diakses 26 Maret 2008.

[31] Ibid.

[32] Ibid. hlm 47.

[33] Yusuf Wanandi, Olimpiade Beijing dan Masalah Tibet, Kompas-online, Senin, 14 April 2008, dalam http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0305/21/opini/323720.htm, diakses 14 April 2008.

[34] Wade L. Huntley and Robert Brown, “Missile Defense & China”, Foreign Policy in Focus (on-line) Volume 6, Number 3, January 2001, dalam http://www.fpif.org/briefs/vol6/v6n03taiwan.html, diakses tanggal 26 Maret 2008.

[35] Thomas Bickford,Myths and Realities of China’s Military Power”, Foreign Policy in Focus (on-line) Volume 6, Number 14, April 2001, dalam http://www.fpif.org/briefs/vol6/v6n14chinamil.html, diakses 26 Maret 2008.

[36] Dalam www.kompas.com/ver1/internasional/0709/08/0405155.htm, diakses 14 April 2008.

[37] Negara-negara yang mendukung Taiwan sebagai negara berdaulat diantaranya: Belize (1989), Burkina Faso (1994), Chad (1997), Dominika (1957), El Salvador (1961), Gambia (1995), Guatemala (1960), Haiti (1956), Honduras (1965), Kiribati (2003), Kosta Rika (1959), Malawi (1966), Kepulauan Marshall (1998), Nauru (1980, 2005), Nikaragua (1990), Palau (1999), Panama (1954), Paraguay (1957), Saint Kitts dan Nevis (1983), Saint Vincent dan Grenadines (1981), Sao Tome dan Principe (1997), Kepulauan Solomon (1983), Swaziland (1968), Tuvalu (1979), Vatikan (1942).

[38] Ilmuwan Politik dan pengamat Hukum Internasional Robert E. Bedeski dari University of Victoria di Canada menyepakati bahwa Taiwan hanya merupakan salah satu wilayah separatis di China, sebab, menurutnya Taiwan secara tradisional adalah bagian dari China.

[39] “Juklak Kebijakan One China Policy Harus Diubah”, Republika (on-line), Rabu 21 Juni 2006, dalam http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=253208&kat_id=23, diakses 30 Juni 2006.

Tidak ada komentar: