Jumat, 17 Oktober 2008

PENGARUH KEBERADAAN AS DI ASIA TIMUR

I. Pendahuluan

A

sia Timur merupakan sebuah kawasan yang memiliki permasalahan yang kompleks. Setiap permasalahan yang ada akan berefek besar terhadap dinamika hubungan internasional di wilayah tersebut. Tidak seperti Eropa Barat, walaupun di masa lalu mereka pernah memiliki sejarah yang kelam, di masa kini mereka bisa hidup damai dan sama-sama saling melengkapi dalam bingkai kerjasama regional Uni Eropa (UE). Salah satu alasan kenapa UE dapat terwujud adalah karena negara-negara yang tergabung di dalamnya memiliki akar kebudayaan yang sama, Greco-Roman Civilizations. Negara-negara Asia Timur, walaupun memiliki akar kebudayaan yang sama, sampai hari ini mereka belum pernah menyelesaikan permasalahan historis secara bilateral maupun regional Asia Timur saja. Penyelesaian perselisihan di negara-negara Asia Timur selalu melibatkan pihak ke-tiga. Contoh-contohnya seperti: kasus China-Taiwan melibatkan Amerika Serikat (AS), kasus perang Korea melibatkan AS, dan kasus nuklir Korea Utara (Korut) melibatkan AS dan Russia.

Sejarah Asia Timur menorehkan banyak cerita mengenai konflik dan perang. Di masa modern ini, bukan menutup kemungkinan perang dapat terjadi kembali di kawasan tersebut. Potensi konflik yang ada di Asia Timur menjadi pusat perhatian dunia karena kawasan tersebut memiliki negara yang memiliki kemampuan dan kapasitas ekonomi dan militer yang besar, atau paling tidak, bisa dikatakan sedang menuju ke arah sana.

Diantara kompleksnya seluruh peta konflik yang ada di wilayah Asia Timur, secara subjektif penulis cenderung ingin membahas hubungan internasional di antara Jepang dan China. Selain memiliki sejarah konflik, kedua negara tersebut hari ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam tatanan sistem internasional. Jepang adalah negara yang memiliki kekuatan sangat besar dalam bidang ekonomi. Kekuatan ekonomi Jepang adalah kedua terbesar dunia setelah AS. Sedangkan China, walaupun ekonominya belum sekuat Jepang, memiliki pengaruh politik yang sangat besar bagi perdamaian dunia dengan posisinya sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang memiliki hak veto. Selain itu, dimulai sejak dekade 1990-an, China mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat. Kedua negara tersebut adalah fenomena tersendiri bagi ranah kajian Hubungan Internasional kontemporer.

Sementara itu, hubungan kedua negara hari ini bisa dikatakan bukan sebuah aliansi regional. Kebesaran yang dimiliki kedua negara tersebut bukanlah sukses yang dicapai melalui kerjasama regional. Sukses yang mereka dapat adalah sukses yang diraih secara mandiri tanpa melibatkan kerjasama regional Asia Timur. Hubungan mereka ibarat hubungan antar tetangga sebelah rumah yang tidak rukun, saling tidak menyukai. Untuk menyelesaikan persoalan yang pernah terjadi di antara mereka di masa lampau, mereka cenderung segan. Yang terjadi hanyalah sangkaan-sangkaan sepihak yang hanya dibicarakan dalam rumah tangga masing-masing. Yang membuat mereka tidak melakukan konfrontasi secara langsung adalah kehadiran pihak ke-tiga di kawasan tersebut yang sangat berpengaruh. Tetangga baru atau “New Kids on the Block” yang mempunyai pengaruh sangat besar tersebut adalah AS. Dikatakan sebagai tetangga baru dikarenakan kehadiran AS di Asia Timur baru sekitar seratus tahunan. Tidak seperti China dan Jepang yang telah hidup berdampingan selama ribuan tahun.

Dengan demikian sebagai pengantar pada pembahasan pada tulisan ini, penulis akan mengajukan research question sebagai berikut?

Sejauh manakah pentingnya keberadaan AS di Asia Timur bagi hubungan China-Jepang pasca Perang Dingin?

II. Kerangka Pemikiran

C

harles Watkins, teoritis konflik, dalam buku ‘konflik dalam kehidupan sehari – hari’ mengatakan bahwa :

“konflik dapat terjadi dalam kondisi atau prasyarat sebagai berikut; Pertama, ada dua pihak yang secara potensial dan praktis operasional dapat saling menghambat. Secara potensial, artinya mereka memiliki kemampuan untuk menghambat. Praktis operasional, artinya kemampuan tadi bisa di wujudkan dan ada didalam keadaan yang memungkinkan perwujudannya secara mudah. Ini berarti kedua belah pihak tidak dapat menghambat atau tidak melihat pihak lain sebagi hambatan, maka konflik tidak tejadi. Kedua, konflik dapat terjadi bila ada suatu sasaran yang sama-sama dikejar oleh kedua belah pihak namun hanya salah satu yang mungkin akan mencapainya.[1]

Potensi konflik di China-Jepang didasari oleh persoalan historis yang tidak terselesaikan. Mencari akar konflik sendiri bukanlah persolan mudah mengingat betapa kompleksnya persoalan yang berkembang. Antar satu masalah dengan masalah lain berkaitan erat, sambung menyambung dan bahkan menimbulkan persolan baru lagi. Untuk mengklasifikasi konflik oleh Simon Fisher dalam bukunya ‘Working With Conflict : Skill and Strategies for Action’ dibagi kedalam empat tipe, yaitu:

a. Tidak ada Konflik (no conflict)

b. Konflik Laten (laten conflict), merupakan tipe konflik yang tersembunyi dibawah permukaan dan mesti “digali” agar dapat diselesaikan secara efektif.

c. Konflik Permukaan (surface conflict), adalah konflik yang terekspos kepermukaan namun tidak mengakar. Biasanya disebabkan oleh kesalah pahaman tujuan dan miskomunikasi.

d. Konflik Terbuka (open conflict), tipe konflik mengakar, sangat jelas kelihatan dan membutuhkan suatu aksi konkret untuk mengatasinya.[2]

Dari pengklasifikasian konflik tersebut maka hubungan konfliktual China-Jepang hari ini dapat kita kategorikan sebagai konflik laten (laten conflict), konflik permukaan (surface conflict), dan konflik terbuka (open conflict). Dalam hal ini Simon Fisher lebih jauh mengemukakan :

Dalam skala besar konflik dapat berubah menjadi sebuah perang. Perang merupakan konflik yang dilakukan dengan menggunakan cara-cara kekerasan bersenjata untuk mencapai tujuan konflik. Salah satu jenis konflik yang umum terjadi adalah konflik komunal atau perang saudara. Konflik komunal terjadi didalam satu negara diantara kelompok-kelompok yang ada di negara-negara tersebut. Konflik ini seringkali berlangsung lama, sengit dan sukar diselesaikan. Terlebih lagi bila terdapat alasan-alasan historis-kultural yang menyebabkan akar kebencian dan permusuhan yang amat mendalam.[3]

Berdasarkan konflik-konflik lain yang pernah terjadi di masa lalu, Peter Wallersteen mengkategorikan tujuh mekanisme penyelesaian konflik[4]:

  1. Change of a basic position by one or several parties, mengubah tujuan salah satu atau beberapa pihak yang berkonflik oleh (beberapa) pihak lain.
  2. Dividing the contested values, membagi apa yang diperebutkan (biasanya wilayah).
  3. Horse Trading, tukar menukar wilayah, cara ini biasanya dilakukan oleh negara-negara penjajah.
  4. Created Sharing Rule, membuat peraturan atau perjanjian yang disepakati bersama.
  5. Leave control to another party, menyerahkan kekuasaan kepada pihak lain.
  6. Leave it to International settlement, menyerahkan penyelesaian permasalahan kepada hukum internasional.
  7. Left it to the future, Dibiarkan mengambang (tidak diselesaikan, Status Quo).

Dalam kasus China-Jepang, resolusi konflik yang digunakan adalah resolusi konflik pertama, kedua, keempat, dan ketujuh. Hanya saja, dalam beberapa hal, proses pelaksanaan perdamaian kedua belah pihak melibatkan pihak ketiga sebagai mediator, itu pun tidak secara eksplisit. Banyaknya tipe resolusi konflik yang dapat diterapkan dalam kasus China-Jepang menunjukkan betapa kompleksnya hubungan kedua negara tersebut.

Salah satu tugas pihak ketiga adalah sebagai pihak mediasi. Peter Harris dan Ben Reilly mendefinisikan pihak ketiga sebagai orang, atau kelompok, institusi atau negara yang tidak diidentifikasi secara langsung maupun tidak langsung dengan salah satu pihak yang berkepentingan dengan konflik tersebut.[5]

Teori Keamanan

Dalam kasus hubungan China-Jepang, pendekatan keamanan yang dapat dipakai adalah teori Neo-Realisme yang mendefinisikan ulang konsep keamanan. Dalam bukunya yang bertajuk “People, States and Fear”, Buzan membagi sektor keamananan ke dalam 5 bidang: militer, politik, lingkungan, ekonomi, dan societal.[6] Sektor pertama: militer, sektor ini mengacu pada hubungan-hubungan militer para unit/aktor dan biasanya memfokuskan pada kapabelitas militer aktor, baik yang bersifat defensif maupun ofensif.[7]

Kedua, sektor politik, sektor yang merujuk pada hubungan otoritas, legitimasi politik unit/aktor. Sektor ini memfokuskan pada sifat hubungan antar unit/aktor apakah bersifat hirarki atau setara. Ketiga, sektor ekonomi, sektor yang memusatkan perhatian pada hubungan perdagangan, produksi, keuangan diantara para unit/aktor. Sektor ini merujuk pula pada hubungan antar unit/aktor dalam pasar internasional dan akses terhadap perdagangan/perekonomian internasional.[8]

Keempat, sektor societal, sektor yang mengacu pada hubungan sosial dan kebudayaan antar unit/aktor. Interaksi dalam hubungan ini berupa penyebaran ide (identitas kolektif, kultur, bahasa, dan agama) antar unit individu dan kelompok individu dalam masyarakat internasional. Sektor terakhir adalah lingkungan yang mencakup hubungan antara aktivitas manusia dan lingkungan biologinya sebagai bagian dari sistem pendukung penting dalam interaksi internasional.[9]

Konflik diantara China-Jepang melibatkan kelima dimensi keamanan di atas. Oleh karena itu, konflik yang telah berurat akar selama puluhan tahun tersebut menjadi konflik yang sangat rumit. Ke depan, penulis akan mencoba memaparkannya.

III. Pembahasan

H

ubungan China-Jepang hari ini bisa dikatakan belum mencapai tahap saling percaya (mutual trust) diantara kedua belah pihak. Sedangkan hal yang paling penting atau modal utama dari terciptanya kerjasama regional adalah Trust. Dalam konteks kenegaraan, Francis Fukuyama menilai bahwa maju mundurnya suatu negara sangat tergantung kepada hubungan Trust antara masyarakat-masyarakat, dan Trust antara masyarakat-pemerintah.[10] Konsep tersebut akan sangat relevan juga apabila dilarikan ke dalam ruang lingkup antar negara. Kerjasama regional yang optimal dan saling menguntungkan hanya bisa diperoleh apabila Trust antara pemerintah-pemerintah dan masyarakat-masyarakat (beda negara) terwujud. Hubungan antara China-Jepang hari ini masih belum mencapai tahap Trust dikarenakan beberapa persoalan yang menyangkut masalah strategis, historis, dan ekonomis yang belum terselesaikan. Persoalan-persoalan tersebut masih bercampur baur diantara asumsi-asumsi maupun fakta. Oleh karena itu, dinamika di wilayah Asia Pasifik menjadi sangat sulit ditebak. Akan tetapi, demi memudahkan analisa, penulis akan mencoba meng-inventarisir persoalan-persoalan tersebut, antara lain:

  1. Dengan runtuhnya Uni Soviet, fokus persepsi ancaman eksternal Jepang akan beralih ke China (asumsi).
  2. China khawatir kemampuan nuklir Korut bisa memicu Jepang memproduksi nuklir juga (asumsi).
  3. Pengembangan Theatre Missile Defense (TMD) Jepang mengancam kepentingan China terhadap Reunifikasi Taiwan (asumsi).
  4. Jepang-China tidak bisa duduk dalam satu meja dalam forum bilateral (fakta).

Kenapa penulis membedakan permasalahan China-Jepang pada dikotomi asumsi dan fakta adalah dikarenakan tidak seluruh persoalan tersebut terbukti (atau belum terbukti) benar. Walaupun asumsi-asumsi tersebut didukung oleh indikasi-indikasi faktual yang menggiring kita untuk membenarkan asumsi tersebut, tetapi toh itu semua masih dalam wilayah penafsiran. Akan tetapi penulis tetap akan menguraikan persolan di atas, baik asumsi maupun fakta.

Keruntuhan Uni Soviet dan fokus persepsi ancaman eksternal

Di tahun 1970-an, ketika perang dingin masih berlangsung, dalam rangka membantu AS dalam membendung pengaruh Uni Soviet, Jepang meningkatkan kapabelitas militernya dengan mengadakan perlengkapan militer seperti kemampuan anti-submarine (F-15), advance warning air craft (E-2), Patriot air defense batteries, dan Aegis technology on surface ships.[11] Di awal tahun 1990-an, ketika Perang Dingin berakhir (atau hampir benar-benar usai), China mencurigai bahwa pengiriman bahan bakar nuklir dari Jepang ke Prancis untuk diproses dan kemudian dikembalikan ke Jepang adalah untuk kepentingan pembangunan senjata nuklir di Jepang.[12]

Ketika Uni Soviet runtuh, praktis tetangga yang paling potensial untuk menjadi ancaman bagi Jepang adalah China. China sendiri justru mengkhawatirkan pandangan ini, sebab apabila Jepang meyakininya, dengan kemampuan ekonomi dan teknologi yang kuat, maka Jepang akan sangat mudah untuk mengembangkan kemampuan militernya sampai setaraf kekuatan militer Prancis atau Inggris. Sebab, walupun presentasi anggaran militer Jepang sangat kecil (dilihat dari GNP Jepang), akan tetapi anggaran militer Jepang adalah kedua terbesar setelah AS.[13] Selain itu, China pun khawatir dengan pandangan anak muda Jepang yang China anggap tidak memahami sejarah. Pandangan tersebut beranggapan bahwa Jepang bukanlah penjahat perang dalam Perang Dunia II, melainkan korban. Pandangan tersebut lahir dari peristiwa pemboman Hiroshima dan Nagasaki yang menelan korban ribuan jiwa.[14] Selain itu, mereka beranggapan bahwa kiprah Jepang dalam Perang Dunia II adalah misi mulia untuk mempersatukan dunia di bawah kepemimpinan Jepang. Pandangan tersebut dikhawatirkan China akan mendorong kaum elit Hawkish Jepang berencana membangun Jepang sebagai kekuatan militer terbesar di wilayah Asia Timur. China yang dikenal sebagai tolak ukur dari kekuatan militer terbesar di Asia Timur otomatis akan jadi fokus utama dari persaingan kemampuan militer di wilayah Asia Timur.

Nuklir Korut bisa memicu Jepang memproduksi nuklir

Di masa perang dingin, boleh dikatakan Jepang tidak dibuat pusing oleh keberadaan dua Korea yang saling mengangkat senjata sama lain. Korea Utara dan Korea Selatan berperang satu sama lain demi memperebutkan batas wilayah. Kini, setelah perang dingin usai, justru Jepang dibuat khawatir oleh kepemilikkan senjata nuklir Korut. Di tahun 1998, Korut meluncurkan roket misil yang melintasi batas teritorial Jepang. Dengan demikian, saat ini, Jepang terobsesi, dan memang begitu kenyataannya, dengan ancaman kalau Korut akan mengembangkan persenjataan nuklir.

Jepang juga akan merasa gusar kalau Korsel mewarisi kemampuan nuklir. Kemungkinan tersebut dapat terjadi apabila Korea bersatu kembali, maka negara itu, seperti halnya Jerman bersatu, akan mewarisi kemampuan militer yang dahsyat, dan kekuatan itu akan ditempatkan dalam jarak siap tembak pada Jepang. Kekhawatiran Jepang memang beralasan, sebab Korea dan Jepang memiliki hubungan historis yang buruk, di mana Jepang di masa lalu pernah menjajah Korea. Selain itu, karena Jepang memiliki budaya eksklusif yang sangat kuat, di Jepang hari ini terdapat banyak warga Jepang keturunan Korea yang dulunya di masa penjajahan orang tua mereka diangkut ke Jepang untuk menjadi pekerja paksa, dan sampai hari ini keturunan mereka masih berdomisili di Jepang. Sebagaimana “Jepang-nya” warga keturunan tersebut, posisi mereka di mata masyarakat Jepang masih dianggap warga kelas dua. Karena tradisi antipati antara Jepang dan Korea, beberapa pejabat Jepang telah mengatakan di antara mereka sendiri bahwa jika Jepang bisa hidup dengan Rusia dan China yang mempersenjatai dirinya dengan nuklir, namun ia tak akan bisa menerima Korea dengan senjata nuklir. Hampir pasti, Jepang akan mengembangkan senjata nuklirnya sebagai respon atas kondisi tersebut. Sebagaimana yang pernah terjadi di antara India-Pakistan.[15]

Disisi lain, China sendiri menganggap alasan Jepang mengembangkan kemampuan militer karena Korea Utara (Korut) tersebut hanyalah alasan untuk membendung kekuatan militer China di Asia Timur, terutama menyangkut keberadaan Taiwan. Alasan sebenarnya adalah untuk menangkal pengaruh China di Asia Timur. Sebab, menurut beberapa analis China, kemampuan misil Korut tidaklah sebesar yang dibicarakan, masalah nuklir Korut terlalu dibesar-besarkan.[16]

Pengembangan Theatre Missile Defense (TMD)

Masih berhubungan dengan Korea, semenjak Korea meluncurkan misilnya melintasi teritori Jepang. Jepang pun memulai kerjasama dengan AS dalam pengembangan TMD. Sementara itu China mengkhawatirkan kegiatan tersebut akan berdampak negatif bagi kepentingan nasional China, yakni reunifikasi Taiwan. China khawatir AS dan Jepang akan menyebarkan TMD-nya ke negara-negara Asia Timur. Walaupun banyak pengamat meragukan bahwa China akan menginvasi Taiwan secara militer, tetapi posisi Taiwan yang secara geografis dekat dengan China rentan terhadap serangan misil jarak pendek milik China. Ketika Taiwan memiliki fasilitas TMD, China khawatir pengaruh politiknya untuk mengintimidasi pemimpin Taiwan akan berkurang. Selain itu, menurut pandangan China, keberadaan TMD di Taiwan akan meningkatkan sentimen warga Taiwan untuk memerdekakan diri. Perlu diketahui, yang bertanggung jawab terhadap penyebaran TMD di Taiwan adalah AS. AS adalah mitra dagang Taiwan dalam ekspor persenjataan.[17] Taiwan Relations Act (TRA) 1979 mengizinkan AS untuk menjual senjata untuk kepentingan pertahanan. Dalam beberapa dekade terakhir AS sudah menjual senjata ke Taiwan, diantaranya 126 F-16s TMD Patriot antimissile systems, delapan Knox-class frigates, tujuh Perry-class frigates, M-60A3 tanks, beserta perlengkapan elektroniknya.[18]

Apabila sekaran Jepang pun memiliki TMD, China khawatir, atas pesanan AS, Jepang pun akan ikut campur dalam persoalan Taiwan. Karena Jepang memiliki TMD, maka Jepang sudah tidak perlu lagi takut terhadap misil-misil China. Potensi ke arah sana memang ada, sebab dari semenjak kekalahannya di perang dunia II, Jepang mengikuti hampir seluruh keinginan AS. Tidak mustahil AS meminta Jepang untuk melindungi Taiwan, walaupun belum terjadi, tetapi paling tidak itulah yang dikhawatirkan pihak China.

Jepang-China tidak bisa duduk dalam satu meja dalam forum bilateral

Saat ini, walaupun Jepang dan China berada dalam satu kawasan geografis, dan memiliki akar kebudayaan yang sama, Jepang-China tidak pernah bisa duduk bersama dalam forum bilateral apapun. Jepang-China bisa duduk dalam satu forum apabila ada pihak ketiga dalam forum tersebut. Sebagai contoh: ASEAN+Three (Jepang, China, Korsel), Trilateral Security Talk (Jepang, China, dan AS), dan Six Party Talk (Jepang, China, Korsel, Korut, AS, Russia).

Jepang tidak menyukai gagasan tentang pencapaian kata sepakat dengan China secara behadap-hadapan dan tidak menyertakan yang lainnya. Hampir selama perang dingin, Jepang segan terhadap China. Baik kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, maupun hubungan tradisional keduanya yang mengesankan Jepang sebagai satelit kultural dan politik China, membuat mudah bagi Jepang untuk menerima posisi yang tidak setara. Saat ini, bagaimanapun juga, Jepang tidak lagi mentakzimkan China, bahkan mungkin dalam hal kebudayaan. Para pemimpin dan pejabat Jepang harus menyembunyikan penghinaan mereka terhadapa China. Mereka bersikap merendahkan China khususnya karena fakta bahwa lebih dari 100 tahun setelah Restorasi Meiji di tahun 1868, ketika Jepang mulai menginstitusikan reformasi untuk menghadapi tantangan peradaban Barat yang yang superior dalam hal teknologi, China masih belum mencapai kata sepakat dalam modernitas.[19]

Penyebab lainnya, tidak seperti Jerman yang dianggap sebagai “penjahat” dalam perang dunia II yang telah meminta maaf secara terbuka kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan, Jepang menghadapi kesulitan psikologis yang besar dalam menerima pentingnya meminta maaf, tapi mereka seharusnya menyadari bahwa sebagaimana mereka tak pernah mampu mempercayai orang-orang Rusia sampai Moscow meminta maaf atas tindakan brutalnya pada Prisoner of Wars (POWs) Jepang setelah Perang Dunia II, maka China pun merasakan hal yang sama terhadap Tokyo.[20]

Selain persoalan yang muncul dari Jepang, China pun di masa perang dingin dan awal tahun 1990-an mempunyai kecenderungan tidak menyukai forum multilateral. Mereka khawatir forum multilateral dan organisasi internasional hanyalah menjadi kepanjangan tangan dari negara-negara besar, dan konsep Confident Building Measures (CBM) mungkin hanyalah salah bagian dari desain strategi untuk membendung China untuk mendapatkan status great military power dalam kawasan. Selain itu China mengkhawatirkan campur tangan asing dalam kasus Taiwan. China akan menolak diskusi apapun yang ia anggap sebagai masalah internal.[21]

Kehadiran AS di Asia Timur

Setelah kekalahan Jepang di Perang Dunia II, Jepang berada di bawah pendudukan pasukan sekutu, terutama AS. Selama enam tahun, di bawah kepemimpinan Jendral MacArthur, Jepang mengalami perubahan sosial dan politik, termasuk amandemen Undang-undang pemerintahan dari masa pemerintahan Meiji. Pada tahun 1951 Jepang menandatangani perjanjian San Fransisco yang menandakan kembalinya Jepang ke pergaulan komunitas internasional. Dengan perjanjian ini, Jepang memperoleh kembali haknya untuk melaksanakan urusan luar negeri, yang ketika di bawah masa kependudukan dibekukan.[22] Diantara seluruh Undang-undang Jepang, yang paling kontroversial adalah Article 9, di mana kekuatan milter Jepang dibatasi.

Praktis, setelah Perang Dunia II berakhir, Jepang menjadi negara satelit dari AS di wilayah Asia Pasifik. Kepentingan AS di wilayah Asia Pasifik di masa Perang Dingin adalah untuk membendung pengaruh Uni Soviet di kawasan tersebut. Namun, setelah perang dingin berakhir dengan kekalahan Uni Soviet, AS perlu mempertanyakan ulang apa kepentingannya di Asia Pasifik.

Untuk beberapa alasan China perlu mengkhawatirkan kepergian AS dari wilayah Asia Pasifik. Di satu sisi, kehadiran AS di Asia Timur menghambat kepentingan nasional China dalam proses reunifikasi Taiwan. Melalui Taiwan Relation Act, AS mencegah China untuk melakukan pendekatan militer ke Taiwan. Tetapi di sisi lain, keberadaan AS di Asia Timur “menjamin” stabilitas di kawasan tersebut. Seperti yang telah dijelaskan di atas, Jepang memiliki banyak alasan untuk mengembangkan kekuatan militernya. Juga, dengan kemampuan ekonomi dan teknologi Jepang hari ini, pengembangan kekuatan militer bukanlah hal yang sulit.

Potensi untuk berakhirnya aliansi AS-Jepang cukup kuat, tanpa memperhitungkan keberadaan China di Asia Timur, Jepang sudah cukup lelah dengan tuntutan AS terhadap Jepang menyangkut kepentingan nasional AS. Sebab mendasar dari masalah-masalah Jepang di era pasca perang dingin adalah hubungan AS-Jepang yang bermasalah. Kepentingan-kepentingan keamanan yang mendasar, khususnya dalam membatasi ruang gerak Uni Soviet telah berkurang dan sirna. Pola tuntut –menuntut AS terhadap Jepang sudah berlangsung lebih dari satu abad lamanya. Orang-orang Jepang mengingat dengan baik tuntutan implisit Presiden Franklin Roosevelt agar Jepang menarik diri dari China, dan tuntutan Sekretaris Negara John Foster Dulle agar perdana menteri Yoshida Shigeru menghentikan upayanya untuk melakukan normalisasi hubungan dengan China. Kedua hal itulah yang menciptakan keputusan shokku Presiden Richard Nixon untuk menormalisasi hubungan dengan China—tanpa berkonsultasi dengan Jepang—yang membuat Jepang merasa lebih sakit hati. Selain masalah perdagangan dan ekonomi, Jepang hampir tidak pernah berkata “tidak” pada apapun tuntutan penting AS sejak Perang Dunia II, khususnya dalam hal keamanan internasional. Jepang juga berperan sebagai banker vital bagi tujuan-tujuan kebijakan luar negeri AS, membentuk kebijakan-kebijakan asistensi pembangunan formalnya baik untuk memenuhi kebutuhan AS maupun Jepang. Sejarah Jepang yang tunduk pada tuntutan AS menjelaskan perbandingan tidak langsung pada orang-orang Jepang terhadap buku Shintaro Ishihara, The Japan That Can Say No, sebagaimana kemunculan istilah kenbei, yang bermakna tidak suka pada AS. Akan tetapi, Jepang pun sadar bahwa ketika AS meninggalkan Asia Timur, maka stabilitas di kawasan tersebut akan terancam. Mengingat pentingnya aliansi tersebut, maka Jepang pun melakukan langkah-langkah preventif yang bersifat “mengikat” keberadaan AS di Asia Timur. Untuk mencegah putusnya hubungan AS-Jepang, perusahaan Jepang dengan sadar telah menjalin jaringan interdependensi ekonomi yang kuat antara dua negara tersebut. [23]

Untuk China sendiri, China mungkin menyadari bahwa kemampuan nuklir Korut bisa memicu Jepang untuk melakukan nuklirisasi. China tahu bahwa ia tidak bisa menghentikan Jepang dalam mengembangkan nuklir bagi dirinya sendiri, dan, yang lebih penting lagi, China tahu bahwa hanya AS-lah yang bisa mencegah kemungkinan tersebut. Karena itu, bahkan meskipun pada prinsipnya China melawan kehadiran militer AS di kawasan Asia Timur, namun tak ada yang ia takuti melebihi penarikan militer AS yang bisa menyebabkan Jepang mempersiapkan senjata nuklir bagi dirinya sendiri. China memang takut terhadap kemampuan militer AS, namun China lebih takut lagi dengan potensi menguatnya kemampuan militer Jepang.

IV. Kesimpulan

K

eberadaan AS di Asia Timur, walaupun oleh China-Jepang dalam beberapa hal tampak mengganggu kepentingan nasional mereka, namun, dalam hal lainnya ternyata AS dibutuhkan oleh kedua negara untuk tetap berada di kawasan tersebut demi menjaga stabilitas. Hal tersebut dapat dibuktikan oleh derap langkah China dan Jepang yang membuat AS tidak pergi dari kawasan tersebut. Dalam hal ini Jepang mengikat AS dengan kerjasama ekonomi jangka panjang dan China mengundang AS dalam persolan nuklir Korut (Six Party Talk). Suka atau tidak suka, kenyataannya AS diperlukan oleh kedua negara untuk mencegah pertengkaran antar negara tetangga.

Sebenarnya, lain halnya dengan Jepang yang memerlukan AS sebagai “penjamin” keamanan Jepang, dalam konteks keamanan militer, AS tidak membutuhkan Jepang. Namun, AS tidak bisa melihat Jepang sebagai negara yang berdiri sendiri, Jepang dikelilingi oleh tetangga-tetangga yang memiliki nuklir, yaitu China, Korut, dan Rusia. AS menyadari, apabila Jepang dibiarkan sendiri, Jepang akan memperkuat kemampuan militernya. Kekhawatiran AS cukup beralasan, mengingat track record Jepang yang panjang, Jepang bukanlah pemain baru dalam hal militer. Apabila AS meninggalkan Jepang, dalam waktu singkat dan mudah Jepang akan mampu memproduksi nuklir. Tentu saja apabila itu terjadi, daftar negara yang menjadi fokus keamanan internasional AS akan bertambah. Belum lagi munculnya persoalan-persoalan baru yang muncul dari tetangga-tetangga Jepang. Mengingat posisi AS sebagai Globo Cop, saat ini AS sudah dibuat cukup repot dengan kepemilikkan senjata nuklir negara-negara lain, apalagi kalau ditambah dengan Jepang. Juga, tentu saja AS tidak menginginkan bangsa non-barat memiliki kemampuan nuklir yang setara. Melihat sepak terjang AS, AS memiliki derajat kepercayaan yang rendah terhadap bangsa-bangsa non-barat, sebagai contohnya lihat saja bagaimana sepak terjang AS di Timur Tengah.

Selain persoalan di atas, tentu saja AS berkepentingan terhadap munculnya kekuatan regional baru yang kuat yang dapat menyaingi aliansi Barat. Memang, saat ini Jepang dikenal sebagai “barat”, karena kapasitas ekonominya yang kuat dan gerak politik yang dapat dikontrol AS, Jepang dapat diterima oleh aliansi barat. Namun, jika Jepang beralih ke “Timur”, dalam hal ini membangun kekuatan regional dengan negara-negara tetangganya, Asia Timur dapat menjadi sebuah kawasan baru yang tangguh yang dapat menyaingi aliansi barat, yakni aliansi yang saat ini sedang mendominasi percaturan politik dunia.

Keberadaan AS di Asia Timur sangat vital, sebab AS bisa memiliki kekmampuan untuk membuat Asia Timur stabil dan tidak stabil. Sejauh ini AS memainkan peranan sebagai penjaga stabilitas di kawasan Asia Timur. Namun bisa saja, apabila AS menginginkannya, AS dapat membuat kekacauan di Asia Timur. Untuk dapat melakukannya, AS tinggal memainkan bidak catur yang selama ini dimainkan oleh AS. Ambil contoh kasus seperti ini, AS bisa saja memaksa Jepang untuk ikut campur dalam kasus Taiwan. Mengingat struktur konflik yang ada antara China-Jepang, keterlibatan Jepang dalam kasus Taiwan hanyalah sebagai efek pemicu (triggering effect) saja bagi meletusnya konflik yang lebih besar antara China-Jepang.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang berkepentingan terhadap keberadaan AS di Asia Timur bukan hanya China dan Jepang saja. Pada kenyataannya AS pun berkepentingan untuk tetap terus berada di Asia Timur, tentu saja ini hanyalah penafsiran, tetapi apakah ada jawaban lain mengenai keberadaan AS yang tetap tidak beranjak dari Asia Timur, padahal perang dingin sudah lama berakhir.

Daftar Pustaka

Robby I Candra “konflik dalam kehidupan sehari -hari”, Yogyakarta:Kanisius, 1992.

Simon Fisher, Working With Conflict: Skill and Strategies for Action (New York: Zed Book, 2000)

Peter Wallersteen, Understanding Conflict Resolution: War, Peace, and the Global System (London: Sage Publications, 2007)

Peter Haris dan Ben Reilly, Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan Negosiator (Jakarta: International IDEA, 2000)

Barry Buzan, People, States and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post ColdWar (Boulder: Lynne Rienner Publisher, 1991),

Anak Agung Banyu Perwita, “Redefinisi Konsep Keamanan: Pandangan Realisme dan Neo-Realisme dalam Hubungan Internasional Kontemporer”, dalam Yulius P Hermawan (ed), Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007).

Francis Fukuyama, Trust, (Qalam, Yogyakarta, 2002)

Pan Sifeng (ed), Research on Japanese Military Thought (Beijing: Academy of Military Science Press, 1992)

Richard J Samuel, Rich Nation, Strong Army: National Security and the Technological Transformation of Japan (New York: Cornell University Press, 1994).

Thomas J Christensen, China, the US-Japan Alliance, and the Security Dilemma in East Asia, dalam G. John Ikenberry, Michael Mastanduno (eds), (New York: Columbia University Press, 2003), hlm

Kishore Mahbubani, Bisakah Orang Asia Berpikir? (Jakarta: Teraju, 2004)

Wade L. Huntley and Robert Brown, “Missile Defense & China”, Foreign Policy in Focus (on-line) Volume 6, Number 3, January 2001, dalam http://www.fpif.org/briefs/vol6/v6n03taiwan.html, diakses tanggal 26 Maret 2008.

Thomas Bickford,Myths and Realities of China’s Military Power”, Foreign Policy in Focus (on-line) Volume 6, Number 14, April 2001, dalam http://www.fpif.org/briefs/vol6/v6n14chinamil.html, diakses 26 Maret 2008.

Royal Wakaba, Japan Today (Tokyo: International Society for Educational Infromation, 1989), hlm 12.



[1] Robby I Candra “konflik dalam kehidupan sehari -hari”, Yogyakarta:Kanisius, 1992.

[2] Simon Fisher, Working With Conflict: Skill and Strategies for Action (New York: Zed Book, 2000)

[3] Ibid. hlm 2-6

[4] Peter Wallersteen, Understanding Conflict Resolution: War, Peace, and the Global System (London: Sage Publications, 2007), hlm 115-118.

[5] Peter Haris dan Ben Reilly, Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan Negosiator (Jakarta: International IDEA, 2000) Hlm 135-283.

[6] Barry Buzan, People, States and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post ColdWar (Boulder: Lynne Rienner Publisher, 1991), dalam Anak Agung Banyu Perwita, “Redefinisi Konsep Keamanan: Pandangan Realisme dan Neo-Realisme dalam Hubungan Internasional Kontemporer”, dalam Yulius P Hermawan (ed), Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm 35.

[7] Anak Agung Banyu Perwita, Ibid hlm 36.

[8] Loc.Cit.

[9] Loc.Cit.

[10] Lihat Francis Fukuyama, Trust, (Qalam, Yogyakarta, 2002)

[11] Pan Sifeng (ed), Research on Japanese Military Thought (Beijing: Academy of Military Science Press, 1992), hlm 388-392.

[12] Lihat Richard J Samuel, Rich Nation, Strong Army: National Security and the Technological Transformation of Japan (New York: Cornell University Press, 1994).

[13] Thomas J Christensen, China, the US-Japan Alliance, and the Security Dilemma in East Asia, dalam G. John Ikenberry, Michael Mastanduno (eds), (New York: Columbia University Press, 2003), hlm

[14] Ibid, hlm 28.

[15] Kishore Mahbubani, Bisakah Orang Asia Berpikir? (Jakarta: Teraju, 2004), hlm 144-145.

[16] Wade L. Huntley and Robert Brown, “Missile Defense & China”, Foreign Policy in Focus (on-line) Volume 6, Number 3, January 2001, dalam http://www.fpif.org/briefs/vol6/v6n03taiwan.html, diakses tanggal 26 Maret 2008.

[17] Loc.Cit.

[18] Thomas Bickford,Myths and Realities of China’s Military Power”, Foreign Policy in Focus (on-line) Volume 6, Number 14, April 2001, dalam http://www.fpif.org/briefs/vol6/v6n14chinamil.html, diakses 26 Maret 2008.

[19] Kishore Mahbubani, Ibid, hlm 147. Di masa lalu, dalam hal peradaban, Jepang belajar banyak dari negeri China yang waktu itu dikenal sebagai pemilik peradaban tertinggi di dunia. Sebagai contoh, sebelumnya, sebelum Jepang mengenal tulisan, Jepang mengirimkan para pemudanya untuk belajar ke China dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra. Hasilnya adalah, ketika para pemuda tersebut kembali ke Jepang, mereka membawa kebudayaan China berupa tata cara menulis yang mereka adaptasikan ke dalam abjad Jepang hari ini. Penggambaran peralihan Jepang dari tradisionalisme menuju keterbukaan terhadap dunia luar digambarkan dengan baik dalam novel berjudul Samurai karangan , seorang Amerika keturunan Jepang yang tinggal di hawai.

[20] Ibid. Hlm 159. Tawanan perang, atau POWs, di masa lalu, ketika hukum internasional belum dihormati dan belum selengkap hari ini, tidak memiliki perlindungan hukum dari negara yang menangkap mereka, juga tidak memiliki hak-hak sipil. Bahkan sampai hari ini, ketika hukum internasional sudah matang, pembantaian terhadap tawanan perang masih berlangsung, sebagaimana yang terjadi pada tawanan perang Irak. Tawanan perang dari pihak Irak mendapat perlakuan yang sangat buruk dari aparat-aparat penjara milik AS.

[21] Thomas J Christensen, Ibid. Hlm 39-40.

[22] Royal Wakaba, Japan Today (Tokyo: International Society for Educational Infromation, 1989), hlm 12.

[23] Kishore Mahbubani, Ibid, hlm 139-140.

Tidak ada komentar: