Jumat, 17 Oktober 2008

Keterkaitan antara restrukturisasi angkatan udara Singapura (RSAF) dengan disepakatinya perjanjian ekstradisi dan DCA antara Sin gapura-Indonesia

“Preparing for suicide is not a very intelligent means of defence.”

Bruce Kent (1929 - )

British peace campaigner and cleric.

I. PENDAHULUAN

Pada tanggal 27 April 2007 lampau pemerintah Republik Indonesia dan Singapura diwakili Menteri Luar Negeri masing-masing negara, dan disaksikan oleh masing-masing kepala negara, menandatangani Perjanjian Ekstradisi dan Perjanjian Kerjasama Pertahanan Indonesia – Singapura di Istana Tampak Siring, Bali. Yang menarik, perjanjian tersebut memuat dua point utama yang sebenarnya berbeda wilayah cakupannya. Perjanjian Kerjasama Pertahanan atau Defense Cooperation Agreement (DCA) disatupaketkan dengan perjanjian Ekstradisi. Singkat kata, perjanjian tersebut memadukan dua unsur yang berbeda, yakni pertahanan dan hukum. Beberapa kalangan menilai bahwa perjanjian tersebut tidak etis karena bentuknya seperti jual beli saja. Singapura membutuhkan ruang latihan militer, Indonesia ingin menangkap koruptor Indonesia yang lari ke Singapura. Dilihat dari sudut pandang pragmatis, sebetulnya apabila yang menjadi landasan diadakannya perjanjian tersebut memang seperti itu, tentunya perjanjian tersebut sah-sah saja. Setiap negara memiliki kepentingan nasional yang harus dikejar, selama tidak merugikan dan memberikan untung, perjanjian jenis apapun, satu cakupan, ataupun banyak cakupan layak untuk diadakan.

Perjanjian tersebut sudah ditandatangani, namun agar perjanjian tersebut dapat dilaksanakan, parlemen masing-masing negara harus meratifikasinya terlebih dahulu. Dalam proses selanjutnya, parlemen Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak untuk meratifikasi perjanjian tersebut. Alasan penolakan tersebut antara lain[1]:

1. Penyatupaketan Perjanjian Ekstradisi dengan DCA tidak tepat. Ekstradisi dan DCA adalah dimensi yang berbeda. Penyatupaketan membuat kesan kita telah menjual wilayah kita terhadap Singapura sebagai tempat latihan militernya untuk mendapatkan kesepakatan Ekstradisi guna mengembalikan uang Indonesia yang telah dilarikan ke Singapura.

2. Penyerahan buronan dan harta kekayaannya dari Singapura ke Indonesia sesuatu yang belum pasti. Keberadaan buronan dan harta kekayaannya bukanlah benda yang tidak bergerak. Artinya, adanya Perjanjian Esktradisi RI-Singapura membuat para buronan cepat berpikir dan segera melarikan diri ke negara lain beserta seluruh aset yang dimilikinya.

3. Pada Pasal 6 DCA diatur tentang peraturan pelaksanaan (Implementing Arrangement) yang berbunyi : "Untuk tujuan pelaksanaan Perjanjian ini, hal-hal operasional, administratif dan teknis akan tunduk kepada peraturan pelaksanaan terpisah yang akan disepakati oleh Para Pihak". Dalam jawaban tertulis Panglima TNI atas pertanyaan Komisi I DPR RI, disampaikan bahwa TNI saat ini sudah menyusun peraturan pelaksanaan dari kesepakatan tersebut untuk menjalin kedaulatan RI di daerah latihan yang sudah disepakati. Tindak lanjut Implementing arrangement itu saat ini sedang dalam proses negosiasi dan pematangan agar tidak ada celah-celah yang dirasa merugikan. Di lain pihak, Singapura menyatakan tidak perlu Implementing Arrangement, karena isi perjanjian Tampak Siring sudah komprehensif. Perbedaan tafsir terhadap isi DCA ini tentu hal yang fatal dalam sebuh perjanjian Bilateral.

  1. Singapura berhak mengadakan latihan militer bersama Indonesia yang disebut Daerah Alpha 1, Alpha 2, dan Bravo. Padahal di daerah tersebut terdapat fasilitas pertahanan nasional yang penting. Dengan demikian daerah yang dipilih Singapura adalah daerah yang sangat strategis untuk mengetahui seberapa kuat sistem pertahanan nasional kita. Sedangkan TNI tidak dimungkinkan melakukan latihan militer di wilayah Singapura.
  2. Singapura berhak melibatkan pihak ketiga dalam latihan militer di wilayah Indonesia. Selama ini Singapura diketahui sangat tergantung terhadap Amerika dan Israel dalam pasokan peralatan dan teknologi tempur. Perjanjian itu boleh jadi merupakan pesanan Amerika Serikat, yang memang sudah lama ingin mendirikan pangkalan militer di Indonesia. Selain itu, dengan adanya pihak ketiga, seharusnya status perjanjian tersebut bukan lagi bilateral, tetapi multilateral.

6. Jangka waktu DCA RI-Singapura berlaku sampai 25 (dua puluh lima) tahun. Dalam prakteknya hal ini belum pernah dilakukan oleh Indonesia. Jangka waktu yang biasanya dilakukan dalam perjanjian bilateral adalah 5 (lima) tahun. Oleh karena itu kalaupun Indonesia ingin tetap menjalin DCA dengan Singapura jangka waktunya hanya 5 (lima) tahun saja. Hal ini bertujuan agar mudah dilakukan perubahan yang lebih menguntungkan bagi Indonesia.

Alhasil, melalui penolakan dari DPR-RI, perjanjian tersebut nasibnya menjadi tidak jelas, belum ada kejelasan dan cenderung berhenti di tempat. Akan tetapi, sesungguhnya yang akan menjadi fokus dari tulisan ini adalah bertolak dari pertanyaan kenapa Singapura ingin melakukan DCA dengan Indonesia? Kenapa pilihan Singapura jatuh kepada Indonesia? Padahal, apabila disimak lebih jauh, sesungguhnya kerjasama militer Indonesia dan Singapura sudah berlangsung lebih dari 26 tahun, dan latihan militer bersama yang dikenal dengan sebutan “Latma Indopura” (Latihan Bersama Indonesia-Singapura), terus berlangsung hingga sekarang. Kerjasama itu bukan hanya dalam latihan bersama, tetapi juga pemberian wilayah tertentu kepada Singapura untuk digunakan tempat berlatih. Di tahun 1995-2003, pemerintah RI telah memberikan akses yang lebih besar kepada Singapura untuk berlatih di wilayah Indonesia (Military Training Area- MTA). Dua lokasi MTA yang diberikan pemerintah Indonesia itu adalah di Tanjung Pinang dan di Laut Cina Selatan. Namun pemberian area latihan militer itu dihentikan oleh pemerintah Indonesia tahun 2003 karena Singapura ditengarai telah melanggar kedaulatan Indonesia melalui MTA, termasuk dengan melibatkan AS dan Australia dalam setiap latihan di wilayah Indonesia.[2]

Yang menjadi point pembeda pada DCA kali ini yaitu dengan ditambahkannya point mengenai ekstradisi, pelibatan pihak ketiga dalam DCA, dan kesepakatan DCA dalam jangka waktu yang jauh lebih lama. Dari sini kita dapat melihat bahwa Singapura sangat menginginkan untuk membuat DCA dengan Indonesia. Bagaimana tidak, selama bertahun-tahun pemerintah RI sangat sulit untuk mengadakan perjanjian ekstradisi, dan tiba-tiba pemerintah Singapura bersedia mengabulkannya. Seolah-olah pemerintah Singapura berkata ”kami beri kalian (Indonesia) ekstradisi, tapi sebelumnya beri kami DCA”. Penulis tidak akan berkutat pada persoalan apakah DCA itu menguntungkan atau tidak bagi Indonesia. Penulis lebih tertarik untuk meneliti kenapa Singapura begitu inginnya untuk membuat perjanjian DCA dengan Indonesia. Dengan demikian, maka penulis merumuskan Research Question (RQ) sebagai berikut:

Apa yang menyebabkan Pemerintah Singapura sangat menginginkan untuk membuat Defence Cooperation Agreement (DCA) dengan Indonesia?

II. KERANGKA PEMIKIRAN

Untuk dapat memahami DCA, ada baiknya kita memahami dulu seperti apa konsep pertahanan (defense) itu. Davied Zeager dalam buku War, Peace, and International Politics yang dikutip oleh Mohtar Mas’oed dalam buku Ilmu Hubungan Internasional menjelaskan konsep defense dengan:

“Misalnya, kita ingin melindungi sejumlah uang yang kita miliki. Salah satunya adalah dengan membuat sedemikian rupa sehingga secara fisik tidak mungkin orang bisa mengambilnya. Kita bisa menaruhnya di peti besi, atau menungguinya dengan membawa pedang dan menusuk orang yang mencoba-coba mencurinya. Upaya fisik untuk mencegah agar lawan tidak bisa mengganggu itu adalah apa yang oleh para pemikir strategi disebut defense.[3]

Dalam perkembangan selanjutnya strategi militer tidak lagi berkutat pada wilayah defense dan ofense (penyerangan). Para pemikir strategi merumuskan konsep baru yang disebut dengan detterance.

Deterrence menurut Jack C. Plano dan Roy Olton dalam buku The International Relations Dictionary adalah:

“Kegiatan yang dilakukan oleh sebuah atau sekelompok negara untuk mencegah negara lain menjalankan kebijaksanaan yang tidak dikehendaki. Detterence mencakup strategi ancaman hukuman atau penolakan untuk mempercayai pihak lain karena risiko tindakan antisipasi akan tidak terkirakan. Sarana yang dipergunakan untuk menjalankan kebijaksanaan detterence termasuk peningkatan kapabelitas militer secara umum, mengembangkan persenjataan super dengan daya hancur masal, membentuk aliansi dan ancaman melakukan tindak balasan. Agar menjadi efektif ancaman detterence harus benar-benar dapat dipercaya oleh pihak lain yang dijadikan sasaran.”[4]

Dalam perkembangan selanjutnya, konsep deterrence mengarah kepada bentuk-bentuk yang lebih spesifik, seperti yang dikatakan oleh Tariq Mahmud Ashraf, komodor udara Pakistan dalam buku Aerospace Power: The Emerging Strategic Dimension:

“It can also be safely concluded that air power is the most suitable of the military instruments for achieving nuclear as well as conventional deterrence. From this perspective, it can also be definitized that ‘deterrence’ is yet another new role and military function that falls within the purview of the Air Force and further enhances its position in military affairs. This is evident when one tallies the attributes of air power with the requirements of deterrence and sees how suitably these two aspects match and complement each other.”[5]

Pernyataan di atas dengan tegas mengatakan bahwa kepemilikan kekuatan udara yang kuat dapat disamakan (mencapai) dengan kepemilikkan senjata nuklir sebagai deterrence.

Secara singkat, perbedaan antara defense dan deterrence adalah terletak pada penggunaan senjata sebagai aktifitas fisik atau psikologis. Defense adalah penggunaan senjata dengan aktifitas fisik, sedangkan deterrence adalah penggunaan senjata dengan sebatas aktifitas psikologis saja.

Deterrence sesungguhnya adalah sebuah cara untuk mencegah terjadinya konflik bersenjata. Di luar konsep detrrence terdapat cara lain untuk mencegah terjadinya konflik, yaitu Confidence Building Measure (CBM). Definisi CBM adalah:

Limiting or reducing the level of fear among parties in conflict is essential for building confidence and a sense of security. Confidence-building measures (CBMs) aim to lessen anxiety and suspicion by making the parties' behavior more predictable.

CBMs are agreements between two or more parties regarding exchanges of information and verification, typically with respect to the use of military forces and armaments. Some measures attempt to make military capabilities more transparent and to clarify the intention of military and political activities. Others establish rules regarding the movement of military forces, as well as mechanisms for verifying compliance with such rules.[6]

III. PEMBAHASAN

Untuk dapat menjawab pertanyaan yang diajukan dalam RQ, penulis terlebih dahulu akan mengajak pembaca untuk melihat kebijakan luar negeri fundamental milik Singapura, simak:

“The Ministry of Foreign Affairs conducts and manages Singapore's relations with other countries. It promotes and protects Singapore's national interests by working towards the enhancement of regional peace, stability and cooperation, the maintenance of economic progress and prosperity, and the consolidation and improvement of friendly relations with all countries. The fundamental principles of Singapore's foreign policy are:  

1.

As a small state, Singapore has no illusions about the state of our region or the world.

2.

We need to maintain a credible and deterrent military defence to underpin our foreign policy.

3.

We must promote and work for good relations with our neighbours in all spheres.

4.

We are friends with all those who wish to be friends with us.

5.

We stand by our friends who have stood by us in times of need.

6.

We fully support and are committed to ASEAN.

7.

We work to maintain a secure and peaceful environment in and around Southeast Asia and in the Asia Pacific region.

8.

We must work to maintain a free and open multilateral trading system.

9.

We are ready to trade with any state for mutual benefit and will maintain an open market economy.

10.

We will support and be active in international organisations such as the UN.”

Dalam konteks pertahanan, dari sepuluh point di atas yang patut untuk diperhatikan adalah point no.1 dan no.2. Point-point tersebut mengisyaratkan bahwa Singapura sebagai negara kecil di kawasan Asia Tenggara tidak mungkin untuk melakukan ekspansi secara militer ke negara-negara tetangga. Selain itu, Singapura pun tidak ingin negaranya yang kecil diambil alih oleh negara-negara sekitarnya yang jauh lebih besar. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan oleh Singapura ialah menakuti negara-negara sekitarnya agar tidak mengambil alih kedaulatan dengan deterrence. Singapura meski berpenduduk sekitar 4 juta orang, namun anggaran militernya adalah yang terbesar di antara negara-negara ASEAN, dan teknologi militernya adalah yang termaju. Singapura sejak tahun 1970 telah mengalokasikan rata-rata 6 persen dari GDP-nya untuk pengeluaran pertahanan. Untuk tahun 1998 saja, belanja militernya naik dari 6,1 miliar dolar Singapura menjadi 7,3 miliar dolar Singapura, dan negara itu memiliki lebih dari 200 pesawat tempur modern. Bandingkan dengan negara lainnya di Asia Tenggara, Filipina, anggaran pertahanannya justru turun dari 1,5 miliar dolar AS tahun 1996 menjadi 1,2 miliar dolar AS tahun 1998. Anggaran militer Thailand turun dari 3,2 miliar dolar AS (1997) menjadi 1,8 miliar dolar AS (1999). Malaysia tahun 1998 turun dari 3,4 miliar dolar AS menjadi 2,1 miliar dolar AS. Anggaran pertahanan Indonesia turun dari 4,8 miliar dolar AS menjadi 1,7 miliar dolar AS tahun 1998, dan hampir 60 persen anggaran itu untuk memenuhi kebutuhan personilnya.[7]

Dalam penerapan deterrence Singapura tidak mungkin mengadopsi sistem pertahanan nuklir dikarenakan negara-negara ASEAN menyepakati bahwa kawasan Asia Tenggara bebas nuklir. Oleh karena itu Singapura memakai konsep deterrence yang “diizinkan” di Asia Tenggara, yakni kekuatan tempur di udara. Untuk lebih jelasnya, simak kekuatan militer Singapura di tahun 2004[8]:

· Tentara

· Tank

· Tank pengangkut personel

· Howitzer 155m

· Artileri lainnya

· Tank anti peluru

· Dalam pesanan

· 50.000, 300.000 cadangan

· 450 tank (100 Centurion MBT’s, 350 AMX 13 ligth tanks)

· 1.574 (M113 Commando, AMX 10P, AMX-10 PAC90, IFV 40/50, AFV 25)

· 169 (38 Soltam M-71S, 16 M1114A1, 45 M68, 52 FH88, 18 FH2000)

· LG1 105mm, Mortir 120mm dan 160mm

· Milan, Armburst, Spike

· More Locally-made FH2000 52-calibre 155mm self propelled howitzer, Bionix AFVs

Armada Laut:

· Kapal perang berpeluru kendali

· Kapal Selam

· Amphibi

· Dalam pesanan

· 24 (6 Victory corvettes, 6 Sea Wolf missleboats, 12 Fearless corvettes)

· 4 Chalenger (ex Swedia A12)

· 4 Endurance-class LPD’s, Perseverance (ex-Inggris) LST

· 6 Delta-calss Lafayette stealth missiles frigates

Armada Udara:

  • 40 A4 Skyhawk fighter aircraft
  • 37 pesawat tempur F5 Tiger II
  • 8 Pesawat tempur RF-5E reconnaissance
  • 7 pesawat tempur F-166A/B
  • 20 AS550 helikopter gunship
  • 20 helikopter Apache gunship AS-64D
  • 55 Helikopter pengangkut (UH1H, AB 205A, AS-332M, AS-532UL)
  • 6 Helikopter Chinnok CH-47D
  • 4 KC 130B air tankers
  • 4 KC-135 air tankers
  • 4 Hawkeye E2CAEW
  • 1 MR squadron dengan 5 Fokker 50
  • 1 RP V squadron dengan Searcher dan Chukar 3 RP V
  • Rudal permukaan udara: Hawk, Rapier, Mistral, RBS70, Igla
  • Dalam pesanan: 8 Helikopter Chinook CH-47SD, 20 F16c/D fighter aircraft.

Catatan tambahan[9]:

Walau sudah menjadi kekuatan tercanggih di Asia Tenggara, Singapura terus menambah dan memperbarui kekuatan armada militernya dari waktu ke waktu. Senin, 22 Agustus 2005, Pentagon mengajukan proposal penjualan senjata, logistik, dan pelatihan untuk pesawat F-15 yang akan dibeeli Singapura senilai lebih dari 741 juta dollar AS. Ini merupakan paket dari rencana pembelian pesawat tempur canggih itu yang nilai kontraknya mencapai satu miliar dollar AS.

Pesawat tempur F-15 memiliki kekuatan yang sepadan dengan pesawat jet tempur Rafale bikinan Prancis. Pembelian F-15 ini dimaksudkan untuk menggantikan pesawat A4SU Super Skyhawk yang sudah dianggap kuno. Selain F-15, Singapura juga akan membeli 200 buah Advance Medium Range Air to Air Missiles, 50 joint Direct Munititions (JDAMs), 30 AGM 154A-1 Joint Standoff Weapons, 30 AGM 154C Joint Standoff Weapons, dan 90 AIM 9x Sidewinder Missiles.

Data dari Pentagon (2005) menyebutkan, Singapura kini telah memiliki 80 buah F-16, F-5, helikopter Apache, dan Chinook. Pembelian F-16 dilakukan sejak 1998 hingga 2004 lewat proyek Peace Carvin I hingga IV. Karena memiliki kekuatan armada militer tercanggih di Asia Tenggara, maka pada tahun 2006 Singapura dipilih menjadi tuan rumah Regional Special Forces Conference.

Restrukturisasi Kekuatan Udara Singapura

Pada tanggal 5 Januari 2007, beberapa bulan sebelum DCA disepakati, Singapura melakukan restrukturisasi di tubuh angkatan udaranya yang mereka klaim sebagai the most significant since the Republic of Singapore Air Force (RSAF) was first established”. Restrukturisasi di tubuh Angkatan Udara Singapura (Republic of Singapore Air Force /RSAF) ini merupakan restrukturisasi generasi ketiga (third-generation/3G) dari angkatan bersenjata Singapura (Singapore Armed Forces/SAF) secara keseluruhan.[10] Restrukturisasi tersebut fokus pada Air Defence and Operations Command (ADOC) yang isinya mencakup lima point yang nantinya akan secara langsung dan sinergis dilaporkan kepada Kepala Staf Angkatan Udara Singapura. Kelima point tersebut adalah: (1) Air Combat Command; (2) Participation Command; (3) Air Power Generation Command; dan (5) Unmanned Aerial Vehicle (UAV) Command. Dalam sebuah wawancara menteri pertahan Singapura Teo Chee Hean mengatakan bahwa fungsi ADOC adalah untuk: “This amalgamates the planning, control and execution of all RSAF operations in one command from peace to war. It allows for more effective management of the full spectrum of air operations, including airdefence operations as part of homeland security, and multinational humanitarian and disaster relief and peace support operations.”[11]

Restrukturisasi di tubuh RSAF tersebut sebetulnya sudah dari jauh hari dipersiapkan. Sebelumnya, pada November 2006 Singapura membeli sistem kepelatihan pertahanan udara dari Lockheed Martin Simulation, Training and Support (LMSTS), sebuah perusahaan pertahanan asal Amerika Serikat. Tidak tanggung-tanggung, kontrak dengan LMSTS disepakati selama dua puluh tahun ke depan, dimulai sejak Juni 2008. Nantinya, selama kontrak dengan LMSTS, RSAF akan menggunakan 19 Swiss Pilatus Aircraft PC-21 turboprop trainer.[12]

Kemudian sebagai tindak lanjut dari restrukturisasi tersebut, pada Juni 2007 RSAF meluncurkan produk terbaru mereka, yaitu Hermes 450, sebuah UAV. UAV ini memiliki kemampuan terbang sampai 200 km dari pusat kontrol, dan memiliki pasokan energi yang bisa tahan sampai 20 jam, selain itu dia juga dapat membawa beban sampai dengan 150 kg. Dengan UAV ini, maka kemampuan pengintaian Singapura menjadi lebih canggih dan aman karena UAV dioperasikan tanpa ditumpangi oleh orang. UAV dikendalikan oleh remote control.[13]

Kepentingan Singapura terhadap Indonesia

Apakah kepentingan Singapura terhadap Indonesia? Hal pertama yang terlintas setelah mengetahui informasi di atas adalah sederhana, Singapura membutuhkan tempat latihan. Alasan pertama, pilihan tempat latihan jatuh kepada Indonesia dikarenakan Singapura tahu bahwa Indonesia sangat membutuhkan perjanjian Ekstradisi. Kedua, Singapura tidak punya pilihan lain selain berlatih di Indonesia karena secara biaya akan lebih murah, dan Indonesia merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Ketiga, secara historis Indonesia tidak memiliki hubungan yang baik dengan Indonesia, potensi konflik dengan negara tetangga mungkin yang terbesar akan datang dari Indonesia, oleh karena itu Singapura menerapkan konsep Confidence Building Measure. Keempat, berhubungan dengan point ketiga, Singapura ingin memperkenalkan kekuatan militernya yang besar sebagai efek deterrence bagi Indonesia. Kelima, dengan luas geografis yang tidak sebesar Indonesia, negara lain di Asia Tenggara tidak akan memberi izin berlatih untuk Singapura.

Untuk memuluskan agendanya Singapura menggunakan argumen lain bahwa daerah yang nantinya akan dipakai latihan oleh Singapura merupakan wilayah tradisional Singapura, yaitu Natuna dan Riau. Dalam Regional Aviation Meeting I yang diselenggarakan di Honolulu Hawai di tahun 1973, kepulauan Natuna dan Riau diputuskan merupakan Flight Information Region (FIR) milik Singapura dan Malaysia dengan pengelolaannya di atas 20.000 kaki oleh Singapura, dan di bawah 20.000 kaki oleh Malaysia. Kemudian setelah disahkannya UNCLOS (United Nations Convention on the Law of Sea/Konvensi Hukum Laut PBB) tahun 1982, Indonesia diakui sebagai negara kepulauan sehingga ruang udara di atas kepulauan Natuna dan Riau termasuk dalam wilayah teritorial Indonesia. Untuk menentukan kedaulatan negara di ruang udara di atas laut teritorial mengikuti ketentuan Pasal 2 ayat (2) UNCLOS yang menentukan bahwa kedaulatan negara di ruang udara termasuk ruang udara di atas laut teritorial. Menurut pasal 3 UNCLOS kedaulatan di laut teritorial tidak melebihi 12 mil laut, dengan demikian negara pantai, termasuk Indonesia, mempunyai kedaulatan atas ruang udara di atas laut teritorial sebesar 12 mil laut diukur dari garis pangkal (base line).[14] Selain itu Singapura juga minta menggelar 25 kapal dari sekitar 30 kapal yang dimiliki Singapura, serta 20 pesawat dalam sekali latihan. Singapura minta supaya Indonesia mengakui hak tradisional Singapura atas wilayah Laut China Selatan sebagai daerah latihan militer. Sementara pihak Indonesia menolak karena dalam UNCLOS, area tersebut termasuk wilayah Indonesia. Perlu diketahui, saat ini dalam hubungan bilateral dengan Indonesia, Singapura tidak mengakui kesepakatan dalam UNCLOS. Selain itu, mengingat area itu wilayah Indonesia, latihan militer harus melibatkan TNI, sebagaimana penggunaan latihan daerah lain yang disebut Alpha I dan Alpha II.[15]

IV. KESIMPULAN

Ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik terkait dengan DCA, pertama, Singapura yang telah melakukan restrukturisasi di tubuh RSAF, dengan sedemikian rupa meng-arrange DCA agar menguntungkan Singapura. Simak saja, terkait kontrak dengan Lockheed Martin Simulation, Training and Support (LMSTS) selama 20 tahun, DCA yang sebelumnya dilakukan hanya sepanjang lima tahun bersama Indonesia, tiba-tiba pihak Singapura mengajukan DCA selama 25 tahun. Kedua, pelibatan pihak ketiga hanya menguntungkan Singapura saja. LMSTS membuat kontrak dengan Singapura, bukan dengan Indonesia, dengan kata lain, pada saat latihan bersama dengan pihak ketiga diselenggarakan, pihak Indonesia hanya akan menjadi penonton saja. Ketiga, lupakan mimpi bahwa Indonesia akan mendapat keuntungan dari DCA, transfer teknologi militer Singapura kepada Indonesia tidak mungkin terjadi. Bila hal tersebut dilakukan Singapura akan merugi, sebab rahasia-rahasia pertahanannya akan terbongkar. Kalaupun ada alih teknologi, yang didapat oleh Indonesia mungkin hanya hal yang umum-umum saja, tidak akan berguna terlalu banyak. Kalau hanya untuk sekedar pengetahuan tentang teknologi militer terbaru, Indonesia tidak perlu berlatih dengan Singapura, hari ini literatur tentang teknologi militer sangat banyak. Keempat, adapun kesediaan Singapura membiayai 90 persen pembangunan fasilitas kawasan latihan tempur, di Baturaja (Sumsel) dan kawasan latihan perang udara di Seabu (Pekanbaru), dan setelah 20 tahun menjadi milik Indonesia, tidak menjamin bahwa Indonesia akan mendapatkan untung besar dari sana, paling yang natinya ditinggalkan Singapura di lokasi tersebut hanya bangunannya saja, sebab DCA yang sudah ditandatangani tidak membahas masalah tersebut sampai detail. Keiinginan Singapura agar tidak menerapkan Implementing Arrangement adalah sesuatu yang disengaja. Sebab, apabila dikemudian hari Indonesia merasa dirugikan, Singapura dapat mengelak dengan mudah atas dasar perbedaan tafsir dari DCA tersebut. Kelima, tidak masalah perjanjian ekstradisi disatupaketkan dengan DCA. Hanya saja perjanjian Ekstradisi ini lebih baik diorientasikan demi kepentingan di masa yang akan datang. Kalau alasan ekstradisi tersebut untuk menangkap koruptor Indonesia yang lari ke Singapura di masa lalu, perjanjian tersebut akan menjadi tidak efektif. Para koruptor tersebut bukan orang bodoh, mereka sudah mempersiapkan cara-cara untuk meloloskan diri. Para koruptor tersebut dari sejak mereka lari ke Singapura sampai dengan sekarang memiliki waktu yang sangat panjang untuk melarikan diri bila sewaktu-waktu ada perjanjian ekstradisi.

Terakhir, penukaran DCA dengan perjanjian ekstradisi bukanlah hal yang sebanding. Jalan terbaik bagi Indonesia adalah membatalkan perjanjian tersebut. Kalaupun Indonesia menginginkan ekstradisi, Indonesia harus menempuhnya dengan jalur yang lain. Apabila Singapura tidak mengizinkan ekstradisi tersebut, paling tidak bangsa Indonesia dapat melihat watak pemerintah Singapura yang hanya ingin untung sendiri. Selain itu, seharusnya pemerintah Indonesia khawatir dengan terus meningkatnya baik kualitas maupun kuantitas kekuatan militer Singapura. Dengan dibatalkannya DCA, Singapura akan kesulitan dengan rencana restrukturisasi di tubuh RSAF. Negara lain di Asia Tenggara selain Indonesia kemungkinan tidak akan mengizinkan Singapura latihan militer di wilayahnya mengingat tidak ada kawasan lain sebesar Indonesia di wilayah Asia Tenggara. Argumentasi konyol yang berisi: “Singapura bisa tenggelam kalau dikencingi oleh seluruh penduduk Indonesia,” harus segera ditinggalkan. Kekuatan militer Singapura tidak bisa diremehkan begitu saja. Kenyataannya kekuatan militer Indonesia jauh tertinggal bila dibandingkan dengan Singapura.

REFERENSI

Buku:

David W. Ziegler, War, Peace, and International politics (Little, Brown, 1984)

Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodelogi Nasional (Jakarta: LP3ES,1994)

Jack C. Plano dan Roy Olton, The International Relations Dictionary (Fourh Edition Longman California, 1998)

Tariq Mahmud Ashraf, Aerospace Power: The Emerging Strategic Dimension (Pakistan Air Force Book Club, Peshawar, 2002)

Rizki Ridyasmara, Singapura Basis Israel Asia Tenggara (Jakarta: Khalifa, 2005)

Andrew Tan, Force Modernization Trends in Southeast Asia, Januari 2004.

K Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional (Bandung: Mandar Maju, 1995)

Yuwono Agung Nugroho, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia (Jakarta: Bumi Intirama Sejahtera, 2006)

Internet dan Media Cetak:

Hisar Sitanggang, Perjanjian Pertahanan Indonesia -Singapura, Siapa Diuntungkan ?, Berita Sore (on-line), 4 Mei 2007, dalam http://beritasore.com/2007/05/04/perjanjian-pertahanan-indonesia-singapura-siapa-diuntungkan/, diakses 10 September 2008.

"Confidence-Building Measures in South Asia " The Henry L. Stimson Center. [on-line] available at: http://www.stimson.org/southasia/?SN=SA2001112047, diakses 30 January 2002.

“Ada Apa dengan DCA ?”, dalam http://www.pk-sejahtera.org/v2/index.php?op=isi&id=3321, diakses 10 September 2008.

Associated Press, AFP dan FER, 23 Agustus 2005.

Robert Karniol, “Singapore announces restructuring of air force”, Jane’s Defense Weekly, Volume 44, Issue 2, 5 Januari 2007.

Robert Karniol, “Lockheed Martin wins Singapore trainer contest, Jane’s Defense Weekly, Volume 43, Issue 46, 15 November 2006.

Robert Karniol, “Singapore launches UAV Command, Jane’s Defense Weekly, Volume 44, Issue 23, 6 Juni 2007.

J Kristiadi, “Nasib kerjasama pertahanan RI-Singapura”, dalam http://www.csis.or.id/scholars_opinion_view.asp?op_id=633&id=29&tab=3, diakses pada 10 September 2008.



[1] “Ada Apa dengan DCA ?”, dalam http://www.pk-sejahtera.org/v2/index.php?op=isi&id=3321, diakses 10 September 2008.

[2] Hisar Sitanggang, Perjanjian Pertahanan Indonesia -Singapura, Siapa Diuntungkan ?, Berita Sore (on-line), 4 Mei 2007, dalam http://beritasore.com/2007/05/04/perjanjian-pertahanan-indonesia-singapura-siapa-diuntungkan/, diakses 10 September 2008.

[3] David W. Ziegler, War, Peace, and International politics (Little, Brown, 1984), dalam Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodelogi Nasional (Jakarta: LP3ES,1994), hlm. 163.

[4] Jack C. Plano dan Roy Olton, The International Relations Dictionary (Fourh Edition Longman California, 1998), hal. 145.

[5] Tariq Mahmud Ashraf, Aerospace Power: The Emerging Strategic Dimension (Pakistan Air Force Book Club, Peshawar, 2002), hlm 182.

[6] "Confidence-Building Measures in South Asia " The Henry L. Stimson Center. [on-line] available at: http://www.stimson.org/southasia/?SN=SA2001112047, diakses 30 January 2002.

[7] Hisar Sitanggang, Ibid.

[8] Andrew Tan, Force Modernization Trends in Southeast Asia, Januari 2004. Dikutip oleh Rizki Ridyasmara, Singapura Basis Israel Asia Tenggara (Jakarta: Khalifa, 2005), hlm 206-208.

[9] Associated Press, AFP dan FER, 23 Agustus 2005. Dikutip oleh Rizki Ridyasmara, Singapura Basis Israel Asia Tenggara (Jakarta: Khalifa, 2005), hlm 207-208.

[10] The first-generation SAF concentrated on building up the individual services during the 1970s and 1980s, while the second generation SAF involved a period of consolidation. The latter emphasised tri-service integration, with a concurrent force modernisation started in the early 1990s. Efforts to develop the 3G SAF, focused on network-centric warfare and other futuristic concepts, began in earnest around 2000. (Jane’s Defense Weekly/January 2007)

[11] Robert Karniol, “Singapore announces restructuring of air force”, Jane’s Defense Weekly, Volume 44, Issue 2, 5 Januari 2007.

[12] Robert Karniol, “Lockheed Martin wins Singapore trainer contest, Jane’s Defense Weekly, Volume 43, Issue 46, 15 November 2006.

[13] Robert Karniol, “Singapore launches UAV Command, Jane’s Defense Weekly, Volume 44, Issue 23, 6 Juni 2007.

[14] K Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm 66. Dikutip oleh Yuwono Agung Nugroho, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia (Jakarta: Bumi Intirama Sejahtera, 2006), hlm 123.

[15] J Kristiadi, “Nasib kerjasama pertahanan RI-Singapura”, dalam http://www.csis.or.id/scholars_opinion_view.asp?op_id=633&id=29&tab=3, diakses pada 10 September 2008.

Tidak ada komentar: